This is Home!

pinklabel
Chapter #29

Chapter Twenty Nine

Rumah Wu—rumah yang sudah menjadi tempat berlindung keluarga Wu dari panas dan dingin, dari hujan dan terik, dan dari semua musim yang ada di Seoul. Rumah ini juga yang menjadi saksi hidup Kris dan Violet sejak keduanya meniti jalan setapak penuh terjal bebatuan hingga sampai di sungai beraliran air tenang. Mereka mencapai damai setelah sekian waktu berjuang. Keluarga Wu punya segalanya setelah beberapa babak rintang dan halang yang menghalau, keluarga Wu dapat menikmati kemewahan ini berkat langkah-langkah tertatih, luka-luka bernanah, dan darah-darah di titik penghabisan milik Kris dan Violet.

Ya—rumah ini tempat mereka berpulang. Tempat Kris dan Violet menjalin cinta dan kasih, tempat anak-anaknya hidup bahagia.

Ini rumah mereka, rumah keluarga Wu yang dijadikan tahta tertinggi.

Tapi, semuanya tidak bisa sejalan dengan asa.

Rumah ini bukan hanya jadi penonton atas suka cita. Ada duka, ada haru, ada iba, ada malang yang juga ikut menyertai dan terpadu bersama pengorbanan masing-masing penghuninya.

"Tidak apa, Baekhyun-a. Kau bisa ikut ujian susulan tahun depan,"

Mata sipit Baekhyun mendelik pada si pemilik suara, "Aku mau ujian susulan minggu depan saja."

"Jangan memaksakan diri, Baek-a. Kau juga tetap dihitung lulus, meski nilaimu tidak bisa membantumu memenuhi syarat untuk masuk ke Kedokteran dengan jalur cepat."

"Justru itu masalahnya," Kini Baekhyun memandang lurus-lurus pada netra gelap Ayahnya. "Uh, aku tidak mau dianggap sebagai siswa teladan yang ternyata masuk Kedokteran pakai uang. Aku ingin nilaiku yang bisa membuktikan seberapa pantasnya aku disana." Ia bersikeras.

Jadi, Kris hanya bisa menghela nafas panjang sambil menelan ludah berkali-kali, "Baiklah. Biar Appa tanyakan ke pihak sekolahmu apa kau boleh ikut ujian susulan minggu depan. Tapi—" Kris memberi tatapan menyelidik penuh tuntutan pada Baekhyun, seakan sedang memastikan sesuatu yang tak boleh dilewatkan anak nomor tiganya ini. "Seandainya pihak sekolah tidak mengijinkan, kau tidak boleh menyalahkan dirimu dan marah-marah pada situasi. Ya?"

Karena Kris seyakin itu bahwa mustahil ujian dapat diadakan kembali hanya untuk Baekhyun.

"Harusnya minggu kemarin itu aku bisa mengikuti ujiannya, kok," Baekhyun lantas melengos dan memilih untuk duduk di ranjangnya. "Seandainya Dokter membolehkanku keluar dari Rumah Sakit minggu lalu, sih,"

"Kenapa jadi membalikkan fakta?" Kris bersedekap, lalu ikut mendudukkan diri diranjang yang sama dengan Baekhyun. "Lagi pula, kau bukan masuk Kedokteran karena uang Appa, kau tetap ikut ujian masuk Universitasnya, kan? Kau tetap bisa masuk kuliah disana dengan jalur berbeda, itu saja. Ayolah, Baek-a, yang kau lewatkan itu hanya ujian sekolah."

"Tetap saja," Baekhyun memberengut seketika itu, "Appa hanya tidak tahu semua yang sudah aku lakukan dan semua itu sia-sia karena aku melewatkan ujiannya. Aku belajar mati-matian juga demi ujian itu,"

Kris mengesah, "Ya, tapi, mau bagaimana lagi?"

Salah satu sudut rumah ini baru saja menunjukkan sisi meragu dari Baekhyun. Kamar tempatnya menyakiti diri adalah kamar yang sama sebagai tempatnya berjuang habis-habisan demi sebuah ujian. Tapi, kini tak berarti lagi, tidak ada bekasnya, tidak ada jejaknya. Baekhyun terpaksa harus melapangkan dada, bagaimanapun ia harus merelakan semua jerih payahnya tak berbayar sesuatu yang manis.

"Kyung-a, lama sekali didalam. Kau tidak apa-apa, kan?" Jongin tidak serantan menggedor pintu kamar mandi, bagaimanapun ia perlu khawatir karena adiknya itu betah di ruangan lembab sana selama tigapuluh menit. "Apa kau sakit perut?"

Namun, Kyungsoo baik-baik saja. Ia hanya sedang—menuang pil-pil dalam botol kecilnya kedalam kloset.

"Aku akan segera keluar, Hyung." Kyungsoo selesai menekan tombol flush dan terburu menyelipkan botol kosong itu disaku celana. "I'll be okay,"

Pintu kamar mandi akhirnya terbuka dan mata bulat Kyungsoo sudah heran menyorot Jongin yang menyatukan alis didepannya.

"Kenapa Hyung kelihatan ingin marah?"

Jongin memicing, "Kau tidak sedang menyembunyikan sesuatu, kan?"

"Aku barusan pipis saja, kok. Apanya yang mau disembunyikan?"

Tapi, Jongin enggan percaya semudah itu. "Aneh. Tidak biasanya kau pipis bisa sampai setengah jam dan—"

"—Kyung-a, obatmu sudah habis? Hari ini harusnya jadwal menebus obatmu, kan?" Chanyeol memutus tanda tanya besar di kepala Jongin dengan seruan yang ia lontarkan saat menuruni tangga. "Kalian barusan keluar dari kamar mandi bersamaan?"

Ketika Chanyeol sudah bergabung dengan mereka, Jongin baru bisa menggeleng meski tetap harus menelisik perubahan wajah Kyungsoo. "Hyung, aku seperti punya intuisi kalau Kyungsoo sedang—"

"—Hyung, kenapa, sih? Dari tadi melantur terus," Sebelum Jongin membuka tabir yang mati-matian dikubur Kyungsoo, ia segera menjauhkan Chanyeol dengan mendorong punggung kakak sulungnya itu. "Pokoknya, Hyung tidak perlu mendengarkan Jongin Hyung."

"Ya!" Jongin mengejar Kyungsoo yang membawa Chanyeol menuju ruang tamu. "Hyung. Apa kau percaya kalau Kyungsoo pipis bisa sampai setengah jam lamanya? Tidak, kan?"

Namun, Kyungsoo memberi Jongin tatapan mematikan.

"Setengah jam hanya untuk pipis?" Chanyeol akhirnya mengernyit, "Bukannya aku membela Jongin, Kyung-a. Tapi, kalau kakakmu bilang begitu berarti dia khawatir dengan—"

—Kyungsoo memilih pergi dari berundungan kakak-kakaknya.

Satu lagi bagian rumah ini sudah merekam jurang-jurang penuh ambiguitas yang dihadapi anak-anak Wu. Terutama Kyungsoo yang sedang mengacuhkan segala bentuk kekhawatiran orang-orang disekitarnya. Yah, meski semua mulai membaik secara perlahan—tapi, Kyungsoo tetap merasa marah.

Meski Chanyeol akhirnya meninggalkan flat murah dipinggiran Seoul dan kembali ke rumah Wu ini. Meski Jongin akhirnya menyibukkan diri dengan ikut kursus menari dan hand-crafting demi melupakan secara total obat-obatannya.

Benar, kan? Semuanya mulai beraturan, tapi Kyungsoo belum merasa aman.

Rumah ini bukanlah rumah mewah yang hanya diisi oleh kesenangan semata. Rumah ini punya lebih banyak pesakitan yang terkungkung jati diri.

Rumah keluarga Wu belum sepenuhnya menjadi rumah.

-ooo-

Kris menyeduh teh kamomilnya—ia berhenti minum kopi—bagaimanapun, ia harus rileks sebelum bisa memejamkan mata dan tertidur. Namun, pikirannya tidak bisa sedikitpun mencecap rehat, seolah otaknya terus bekerja tiap detik, seolah otaknya enggan berkompromi. Serupa muslihat. Kris jadi terus-terusan memutar otak atas semua yang terjadi belakangan ini.

Satu-satunya hal yang masih bersemayam dikepalanya adalah tentang Kyungsoo. Selain karena ia sudah mengecewakan si bungsu itu, ia juga tidak tahu apakah Kyungsoo mau memaafkannya. Tentu tidak—pasti akan sama sulitnya dengan kakak-kakaknya. Lihat saja perubahan sikapnya, ia berubah murung, auranya menggelap, rautnya selalu mendung. Kyungsoo menjalani hari-harinya yang kelabu tanpa semangat.

Seandainya Kris tidak sesukses sekarang, dalam artian dia tidak punya perusahaan tambang yang menghasilkan jutaan bahkan milyaran Won dalam setahun—Kris mungkin tidak sanggup membiayai Kyungsoo dan penyakitnya. Obat-obatan Kyungsoo saja harus ditebus tiap minggu, belum lagi jadwal kontrol sebulan sekali, dan operasi besar yang baru saja dilakukan beberapa bulan lalu—semua itu butuh uang.

Jadi, apa salahnya jika seorang Ayah bekerja sekeras mungkin untuk mencukupi kebutuhan anaknya?

"Aku punya firasat yang sejujurnya tidak mau aku percayai,"

Kris mendongak dan melepas jari-jarinya yang semula melingkari cangkir teh. Dia menemukan Jongin sudah duduk tepat berhadapan dengannya.

"Apa maksudmu, Jongin-a?"

Jongin terbangun dini hari—sekarang jam dua pagi. Ia tidak lagi pulang larut malam seperti sebelumnya, ia tidak lagi keluyuran dan berhura sana sini seperti yang sudah-sudah. Setidaknya, ada sisi positif yang bisa Jongin ambil berkat kebiasaan hidup baru di panti rehabilitasi.

"Mungkin bukan hanya aku yang merasakannya, tapi kau juga harus tahu." Jongin masih keu-keuh enggan memanggil Kris dengan sebutan Appa. "Kyungsoo itu tidak seperti pasien yang rutin meminum obatnya. Jika dia memang meminum obatnya, seharusnya wajahnya tidak sepucat ini setiap hari, seharusnya tangannya tidak seberkeringat ini sekarang, belum lagi dia sering tertangkap basah memegangi dadanya dan memukulnya keras-keras. Apa tidak satupun dari kita menyadarinya?"

Kris membenarkan omongan Jongin barusan. Ia memang sempat menimbang, tapi Kyungsoo memang tampak seperti yang dijabarkan Jongin. "Sebelum itu," Kris menjeda dan meluruskan tatapannya pada obsidian Jongin. "Panggil Appa dengan sebutan yang seharusnya, Jongin-a. Appa mohon, ya?"

Jongin memalingkan wajah sesaat, ia patut bersyukur karena temaram lampu ruang makan telah menyamarkan dengusannya. "Appa? Ya, baiklah. Appa." Ia tidak dengan tulus mengucapkan itu, tidak sebelum Kris benar-benar punya tekad untuk—yah, paling tidak menjelaskan tentang apa yang terjadi diantara dia dan Ibunya, menjelaskan tentang siapa itu Luyi Luna dan apapun—apapun yang selama ini membuat Jongin dan saudara-saudaranya meradangkan geram. "Jadi, aku disini hanya ingin menyampaikan sebagai kakak yang mengkhawatirkan adiknya. Apa yang harus kita lakukan?"

Kris tersenyum, meski Jongin tak terlalu memedulikannya. "Terima kasih, Jongin-a. Appa janji akan mengembalikan semua ke tempat semula. Tentang Kyungsoo, nanti Appa akan coba tanya padanya." Kemudian, Kris berdiri dan menghampiri posisi Jongin. Ia lantas memeluk anak nomor duanya dari arah belakang.

Jongin diam—ia biarkan ini untuk beberapa detik.

"Apa—"

"—Appa senang kau akhirnya mau bicara dengan Appa. Appa juga senang kau akhirnya mau memanggil Appa dengan sebutan yang semestinya. Tidak apa-apa, tidak apa-apa. Semua yang sudah kau lalui memang karena Appa, bukan salahmu sama sekali untuk terjerumus di obat-obatan terlarang itu, bukan salahmu kalau kau harus mendekam di panti rehabilitasi, dan bukan salahmu juga jika kampus akhirnya memberimu sanksi dengan menyuruhmu mengulang semua kelas. Jongin-a, sekarang Appa tidak akan mempermasalahkan kalau kuliahmu harus mundur setahun, kau juga tidak perlu jadi pengganti Chanyeol untuk jadi ahli waris perusahaan. Jadi, tenanglah—jalani hidupmu sendiri sesuai dengan apa yang kau mau,"

Hening untuk beberapa saat. Jongin mengira bahwa Ayahnya barusan bercanda.

"Kenapa tiba-tiba?"

Kris akhirnya melepas pelukannya, lalu melirih sepelan mungkin, "Karena Appa tidak bisa membayangkan akan jadi seperti apa Appa kalau harus melihat kalian satu-persatu pergi dari sisi Appa. Sudah cukup Baekhyun saja—sudah cukup Baekhyun saja yang membuat Appa syok sepenuh mati." Ia sungguh tidak ingin menangis. Tapi dengan mengingat memori kelam dimana ia menemukan Baekhyun bersimbah darah di kamarnya, Kris bisa merasakan nyawanya seperti diambil paksa saat ini juga.

Ya. Seharusnya Kris bisa—ia sungguh sangat bisa untuk membuang jauh-jauh egonya sejak lama.

-ooo-

"Ne, arrayo, Baekhyun tidak apa-apa, Haraboeji. Dia sudah bisa makan enak, kok," Kekehan Chanyeol itu mengakhiri sambungan teleponnya. Ia lantas beralih pada kursi disebelahnya—subjek yang baru saja dibicarakan dengan kakeknya itu sedang melamun memandangi hujan lewat jendela. "Sudah sampai. Ayo, turun, Baek-a."

Baekhyun tersadar. Barusan ia memang melayangkan pikirannya pada ujian sekolah yang sengaja ditinggalkan olehnya. Bukan sesal yang melingkupi, tapi malah gelenyar aneh yang tak pernah Baekhyun sendiri rasakan—ia malah merasa puas. Seolah dengan tidak mengikuti ujian yang sudah mati-matian ia perjuangkan itu, beban hidupnya jadi menguap ribuan persen.

"Hyung tidak ikut masuk?"

Chanyeol menggeleng dengan segaris senyuman, "Hyung tunggu disini, ya. Kan memang hanya pasien yang boleh masuk. Jangan takut. Kau kan sudah menjalani dua sesi sebelumnya dengan Yixing Ahjussi."

"Tapi, Hyung, aku tidak mau mengingat apapun sekarang,"

Obrolan itu berakhir saat mereka akhirnya sampai di depan pintu bertuliskan nama Yixing Zhang. Chanyeol beralih sebentar pada wanita muda yang barusan menghampirinya, "Kami sudah buat janji dengan Dokter Yixing." Setelah informasi itu, wanita tersebut pun mengangguk dan membukakan pintu berbahan mahoni didepannya.

"Hyung," Baekhyun tetap merajuk.

"Ayolah, Baek-a, dewasa sedikit. Sana masuk," Chanyeol akhirnya mendorong punggung Baekhyun dan membuat adiknya benar-benar ditelan ruangan itu.

"Haishh," Baekhyun sudah bertemu tatap dengan senyum ramah Yixing.

"Annyeong, Baekhyun-a. Akhirnya sudah jadwalmu untuk terapi lagi, ya. Sini duduk,"

Baekhyun menggaruk lehernya yang sama sekali tidak gatal, merasa kikuk. Tapi, ia putuskan untuk menurut dan duduk didepan psikiater berlesung pipi ini. "Annyeong, Uisa-nim."

Lihat selengkapnya