Kris sadar teriakannya barusan mengundang perhatian orang-orang sekitar, jadi sekarang mereka sudah bergerumbul disana dan mengitari dirinya yang luar biasa kebingungan ini.
"Tunggu, Kyung-a. Bertahanlah."
Kris tidak peduli lagi tampak seperti apa wajahnya saat ini. Air matanya sudah mengalir terus hingga membuat pandangannya mengabur, pun dengan lengan yang ia pakai untuk mendobrak pintu ini rasanya seperti kebas. Salah seorang pria seusia Kris menawarkan diri, ia membantu Kris mendorong dengan tenaga yang ia miliki meski tidak tahu apa yang terjadi, yang jelas nalarnya jalan jika sesuatu tidak beres ada didalam sana.
"Gomapta," Kris masih sempat membisikkan timbal balik disela usahanya. "Di—didalam sana—a—anak saya, pingsan."
Pria itu membelalak, setengah terkejut setengah khawatir. "Aigoo, saya bantu."
Brak!
Bilik akhirnya terbuka, sempat menabrak kaki-kaki Kyungsoo yang terbujur melintang disana. Kris segera memeluk Kyungsoo, menepuk pipinya berulang kali dan menekan lehernya—ia lega bukan main saat nadi itu masih bisa ia rasakan.
"Kyung—soo-ya, hiks—ini Appa—buka—hiks—ayo, buka matamu."
Kris buntu, ia tidak tahu harus melakukan apa saking paniknya. Tapi, tentu ia tidak boleh begitu saja pasrah dan berdiam diri. Mana mungkin seorang Ayah tega melihat anaknya sekarat? Jadi, kali ini ia mendekatkan bibirnya menuju telinga Kyungsoo dan berteriak super keras.
"Kyungsoo-ya! Buka matamu!"
Nihil, Kyungsoo tetap bergeming.
Lantas, Kris menoleh pada orang-orang dibelakangnya, "Ya! Telpon Ambulance sekarang juga!"
Kris menopang kepala Kyungsoo, sekali lagi ia melakukan hal sebelumnya—menyadarkan Kyungsoo. Tidak dipungkiri bahwa saat ini Kris merasakan separuh dirinya melayang, sedang separuhnya lagi terkubur didasar lautan. Nyawanya juga ikut diujung tanduk.
"Appa!" Pekikan Baekhyun bersama langkah-langkah terburunya menyeruak disana, seketika membelah kerumunan orang-orang. "Ya! Jangan menutup sirkulasi udaranya, bubar sekarang juga!" Ia tidak peduli lagi telah memerintah orang-orang asing ini, tapi yang ada dipikirannya sekarang hanyalah keselamatan Kyungsoo.
"Ky—Kyungsoo-ya," Jongin tertegun, mulutnya sudah menganga. "O—obat, minumkan saja obatnya."
Kris menggeleng lemah, ia sudah merogoh saku celana Kyungsoo seketika saat menemukannya terkapar. "Dia tidak membawa obatnya." Agak tidak percaya, tapi Kris tidak bisa membohongi dirinya sendiri juga.
"Apa?! Bisa-bisanya dia tidak bawa obat!" Chanyeol juga tidak habis pikir, ia jelas geram. Tapi, ia tidak mau tahu alasannya apa untuk saat ini. Jadi, dia segera menekan layar ponselnya dan mulai melakukan sambungan. "Tolong, ada—"
"Chogiyo—saya sudah menghubungi Ambulance dan mereka akan tiba dalam lima menit."
Seorang wanita berambut panjang menyetop kegiatan Chanyeol hingga akhirnya ia menyimpan kembali ponselnya. "Lima menit? Mereka menyuruh kita menunggu lima menit?" Memang tidak seharusnya ia marah pada orang ini, tapi benar-benar tidak ada yang waras dalam otaknya sekarang.
"Kyung-a, bangunlah. Aku tahu setelah ini kau pasti bangun, seperti biasanya." Jongin berada didepan Kris sekarang, ia ikut menopang kepala Kyungsoo dipahanya dan membagi berat tubuh adiknya dengan Kris. "Ayolah, Kyungsoo-ya, Hyung mohon."
Namun, Baekhyun malah memundurkan langkah, ia benar-benar menjauhi Kyungsoo dan kumpulan orang-orang itu.
"Baek-a," Chanyeol sadar akan perubahan sikap adik nomor tiganya ini. "Baek-a!"
Baekhyun tetap menghilangkan jejak dengan gelengan kepala berulang kali. Ia syok. Pikirannya sudah kalut, batinnya tak kuasa. Chanyeol tahu itu, jadi ia segera menyusul Baekhyun dan cepat-cepat mendekapnya.
"Sshh, ya—jangan berpikiran macam-macam dulu." Chanyeol bilang begitu juga untuk dirinya sendiri. "Tenanglah, tenang dulu. Kyungsoo pasti baik—"
"—baik-baik saja dari mananya, Hyung?!" Baekhyun enggan berada dipihak spekulasinya sekarang, tapi ia tak punya pilihan lain. "Kyungsoo tidak bawa obatnya! Kau tahu sendiri kalau dia tidak pernah lupa bawa obatnya! Tapi, sekarang—hari ini dia tidak bawa dan—hiks—itu artinya, kita harus bayangkan berapa hari dia sudah tidak minum obat?!"
Baekhyun menjerit dalam pelukan Chanyeol.
-ooo-
Ambulance sudah sampai di Rumah Sakit dan tim medis segera membuka pintu belakang untuk menurunkan Kyungsoo—yang terbaring tak bergerak sama sekali dengan oxygen mask terpasang di hidungnya. Kris dan tiga anaknya juga segera turun dan mengikuti laju super cepat mereka yang kini mendorong ranjang Kyungsoo menuju perjalanan itu, tidak satupun dari mereka mampu berhenti menangis.
"Ky—Kyung-a," Kris berlari sambil menggenggam tangan kanan Kyungsoo, tubuh tak mudanya mencoba untuk mengikuti ritme orang-orang ini. "Bertahan—hiks—bertahanlah. Appa mohon,"
Chanyeol, Jongin, dan Baekhyun juga tak jauh beda. Mereka tak peduli apapun sekarang selain memastikan Kyungsoo segera ditangani. Jadi, sebisa mungkin mereka menguatkan diri untuk tetap berdiri tegap demi mendampingi masa kritis Kyungsoo.
"Mohon maaf, hanya boleh sampai sini." Salah satu petugas medis berbalik sambil merentangkan tangannya, seketika menyetop Kris dan anak-anaknya. Ada sedikit kecewa, tapi tentu mereka masih bisa berpikir jernih untuk tidak menghambat penanganan. "Kami akan melakukan tindak pertolongan pertama dulu."
"Ya! Dokter Choi, kan?" Seorang perawat laki-laki datang dengan catatan dan bertanya pada petugas medis wanita yang barusan bicara ini. "Penanggung jawabnya Dokter Choi, kan? Ah, tidak, maksudku, dia pasien Dokter Choi?"
"Mm? Oh, tugasku kan hanya membawa—"
"—ya, ya, Dokter Choi yang selama ini menangani anak saya,"
Kris buru-buru menyerobot. Ya, ia juga tidak menyalahkan si petugas medis karena bagaimanapun tugasnya memang hanya membawa pasien kode hitam menuju ruang gawat darurat secepat mungkin. Si perawat akhirnya mengangguk dan segera mempersilahkan petugas medis itu menyusul rekan-rekannya untuk menjelaskan kondisi si pasien pada Dokter jaga UGD. Sepeninggalnya, si perawat pun tersenyum pada Kris, justru Kris yang merasa bersalah tidak bisa membalas senyum itu.
"Tuan tidak perlu terlalu cemas. Dokter-dokter UGD kami sudah berpengalaman—"
"—Ya! Jisung-a! Cepat panggilkan Dokter Choi sekarang!" Perawat tadi—yang belum sempat menyelesaikan kalimatnya—cukup terkejut saat Ji Eun muncul tiba-tiba dari balik pintu kaca UGD yang baru saja dimasuki Kyungsoo tadi. "Ya! Tidak ada waktu lagi, kubilang cepat!"
Jisung akhirnya menuruti perintah seniornya itu dan sudah meninggalkan tempat demi menemukan Dokter Choi.
Sedang Chanyeol, Jongin, dan Baekhyun pun tidak menyangka bahwa Ji Eun Nuna mereka ini ternyata bisa tampak sepanik itu.
"Ji Eun Nu—na," Melihat reaksi tak biasa Ji Eun, Baekhyun pun memberanikan diri untuk memanggil. Maka, Ji Eun akhirnya sadar bahwa ia telah menunjukkan sebesar apa kekalutannya sekarang. "A—apa itu artinya Kyungsoo—"
"—sshh, sudah kubilang, jangan berpikir macam-macam."
Chanyeol tidak akan membiarkan Baekhyun menyelesaikan kalimatnya, jadi ia terburu menarik mundur adiknya dan kembali mendekap tubuh gemetar itu dalam pelukannya.
"Tuan dan Jongin-a, uh—kalian harus yakin Kyungsoo akan baik-baik saja, ne?"
Lagi-lagi, belum sempat Kris maupun Jongin membalas ujaran Ji Eun. Dokter Choi bersama Jisung datang dengan napas terengah. Siwon bahkan tak sempat menyapa Kris disana dan segera mengikuti Ji Eun masuk ke UGD.
"Kemarilah," Kris menarik Jongin, mereka saling menguatkan dan seketika melupakan pembatas yang tercipta. "Yakinkan Appa, Jongin-a, yakinkan Appa—hiks—Kyungsoo pasti bisa melewati itu, kan?"
Jongin menyandarkan kepalanya didada Kris, ia tidak bisa memilih antara harus menggeleng atau mengangguk. Tidak satupun.
-ooo-
Siwon terburu memasang masker dan sarung tangan sembari berjalan cepat menuju ranjang Kyungsoo di ruang UGD ini. Ia harus turun tangan saat Jisung mendatanginya dan bilang bahwa Ji Eun yang menyuruhnya kemari—satu hal yang terpikir di otaknya adalah bahwa ada salah satu pasiennya yang butuh pertolongannya sesegera mungkin.
Sayangnya, Siwon sangat tidak menyangka bahwa pasien itu adalah Wu Kyungsoo.
"Jelaskan sekali lagi kondisinya,"
Siwon mengambil alih tugas si Dokter jaga UGD dengan langsung menanyai si petugas medis yang membawa Kyungsoo menggunakan Ambulance tadi.
"Pasien sudah ditemukan dalam keadaan tidak sadarkan diri, pupil tidak menunjukkan respon, saraf motorik juga tidak bekerja, suhu tubuh mendingin dengan keringat berlebihan."
Sambil mencerna ucapannya, Siwon memperhatikan dada Kyungsoo yang naik turun tidak stabil, ia juga bolak-balik memeriksa tekanan darah dan saturasi oksigen di layar monitor.
"Ada hal lain?" Si petugas medis menggeleng serempak. Kali ini, Siwon mengecek mata Kyungsoo dengan membuka kelopaknya dan benar saja, saat senter kecilnya tersorot kearah sana—pupilnya sama sekali tak mengikuti cahaya. "Ji Eun-ssi, tolong beri ketukan di lututnya dan cubit keras-keras lengannya."
Ji Eun menuruti titah Siwon dan melakukan keduanya secara bergantian. Kyungsoo tidak memberikan tanggapan atas rangsangan yang didapatnya. Ketukan itu tak cukup membuatnya bergerak dan cubitan itu tak cukup membuatnya bersuara. Ji Eun pun beralih memandang Siwon sambil menggeleng lemah.
"Serangan jantung." Siwon memberi diagnosa awal. "Kenapa bisa sampai kena serangan jantung dan—berapa lama dia tidak sadarkan diri sampai kalian menjemputnya?"
Para petugas medis—yang tiba-tiba mendapat kuis cepat dari Siwon itu—sempat berpikir. Satu-satunya wanita diantara mereka itupun akhirnya menengahi, "Tidak ada saksi mata. Jadi, kami tidak tahu berapa lama pasien pingsan."
"Ini bukan pingsan," Siwon mendesis, pikirannya berkecamuk. "Ji Eun-ssi, siapkan Clopidogrel, tingkatkan dosisnya dua kali lipat. Sekarang juga!" Karena teriakan Siwon sudah menggema ke seluruh ruangan UGD, Ji Eun jadi dituntut cekatan untuk memenuhi permintaan itu. "Kalian boleh pergi."
Saat para petugas medis diperbolehkan pergi, tidak satupun dari mereka ada yang merasa lega—bagaimana pun, kondisi si pasien barusan tampak tak begitu bagus sampai-sampai membuat Siwon sangat kelimpungan.
Tidak sampai semenit, Ji Eun sudah datang dengan apa yang diminta Siwon, "Disuntikkan sekarang?"
"Ya." Siwon masih mengamati detak jantung Kyungsoo lewat stetoskopnya. "Tidak mungkin kan kalau jantungnya sempat berhenti? Tidak, kan? Tidak akan secara ajaib jantung yang berhenti bisa tiba-tiba berdetak lagi tanpa bantuan alat medis?"
Entah itu berupa monolog atau sebuah pertanyaan yang diajukan untuk Ji Eun. Tapi, setelah Ji Eun merampungkan tugasnya—menyuntikkan obat pengencer darah itu menuju selang infus Kyungsoo—ia rasa ia harus menjawab ini.
"Spekulasi saya—memang sempat berhenti. Tapi, mungkin hanya untuk sedetik atau dua detik karena nyeri luar biasa yang sulit dinetralisir." Ji Eun takut-takut mengemukakan pendapatnya, ia jadi melirik rekan-rekannya yang ikut berkumpul disini, termasuk pada Jisung. "Uh, saya punya anggapan ini—"
"—jangan katakan," Siwon berujar serupa bisikan hingga membuat dua perawat lain yang bingung menunggu perintahnya jadi mencondongkan badan. Ia hanya enggan mengungkapkan hal riskan yang mengganggu pikirannya sejak tadi. Kyungsoo tidak mungkin mengalami itu. "Aku tidak tahu kenapa kita tidak bisa melakukan apa-apa padahal pikiranku sudah luar biasa kacau. Karena pasien dalam kondisi tidak sadarkan diri, aku jadi mengira bahwa ini bukan penyakit kronis. Tapi, demi Tuhan—aku tahu ini sangat berbahaya! Aku tahu yang baru saja dialami Kyungsoo adalah serangan jantung dan itu berpotensi membuatnya ada dalam kondisi vegetatif."
Singkatnya, mati otak.