Seminggu berlalu begitu saja, terasa amat sangat sulit bagi keluarga Wu. Seminggu berlalu begitu saja, bernafas pun terlalu berat untuk dilakukan keempatnya. Tepat tujuh hari Kyungsoo masih memejamkan matanya, tidak sedikitpun mengeluarkan suara, dan tidak menggerakkan satupun anggota badannya—ia masih betah terlelap di alam lain, ia masih enggan kembali kemari.
Minggu lalu, Han Jin Il dan Han Yun Mi bergegas meninggalkan desa mereka demi bertandang kesini tanpa persiapan apa-apa. Minggu lalu, Krystal dan Chae Young juga datang dengan raut sedih yang sukar disembunyikan. Minggu lalu, teman-teman Kyungsoo juga menyempatkan diri menengok sahabatnya disini—Jaehyun dan Haechan bahkan sampai tidak ingin pulang.
Hari ini, orang-orang yang sedang menanti keajaiban pun masih sama. Namun, jumlah personil tidak sebanyak hari-hari sebelumnya. Yoo Seok, Kris, Chanyeol, Jongin, Baekhyun, Jin Il, dan Yun Mi adalah mereka yang tersisa. Karena memang tidak punya kesibukan berarti yang dapat menyita seluruh waktu mereka, jadi tidak akan ada masalah apapun jika mereka bertujuh bersama-sama saling menguatkan diri didepan ruang ICU ini.
Setelah pertukaran sesal antara Yoo Seok dan Kris tempo hari itu, hubungan keduanya yang memang sudah merenggang tidak juga menunjukkan perubahan. Yah, meski sesekali ketika tatap mereka bertemu, Kris tahu aduan mata senja Ayahnya itu terasa berbeda—lebih punya kesan. Selain karena disini ada beberapa pasang mata lain yang menyaksikan interaksi mereka, Kris dan Yoo Seok pun sama-sama berhati-hati dalam memilih langkah agar tak menimbulkan keributan lain.
"Aku tidak pernah menyangka tidak bisa bertemu, apalagi mengajak Kyungsoo bicara selama seminggu ini," Baekhyun tertunduk lagi, ia menggumam pada udara meski Jongin dapat menangkap maknanya dengan jelas. "Apa yang dia lakukan disana sampai-sampai tidak mau kembali lagi kesini bersama kita?"
Jongin meraih tangan Baekhyun yang tersampir diatas paha, lalu menggenggamnya. "Kita tunggu. Kita harus percaya padanya kalau dia akan memilih kita,"
"Demi Tuhan, ini sudah tujuh hari, Hyung." Kepala Baekhyun akhirnya mendongak secara reflek, mata sipitnya tertumbuk pada mata Jongin yang sudah bengkak. "Sampai kapan aku tidak bisa bertemu adikku? Sampai kapan aku harus meyakinkan diriku bahwa Kyungsoo akan kembali seperti dulu? Dia yang akan tertawa bersama kita, dia yang akan memasakkan makanan apapun untuk kita, dia yang selalu peduli pada kita—aku, aku merindukannya,"
"Aku juga, semua orang disini mengharapkan hal yang sama denganmu." Jongin lantas menarik separuh badan Baekhyun menuju dadanya, mendekap adiknya itu agar tak perlu melihat kondisi Kyungsoo didepan sana. "Tapi, mau sampai ribuan tahun menunggu pun, aku siap. Asal Kyungsoo benar-benar memilih kita disini."
"Apa Eomma akan menjemputnya?"
Jongin terhenyak sejenak, "Omong kosong, Eomma tidak akan tega mengambil salah satu saudara kita karena itu hanya akan membuat kita sedih. Eomma tidak suka melihat kita semua sedih, kan?" Sebelah lengannya tak lagi merengkuh Baekhyun, pelukan itu tidak dirasakan siapapun dan sudah terlepas.
"Kalau Kyungsoo memang memilih Eomma, kita bisa apa?"
Jongin akhirnya tak kuasa. Ia mengguncang dua bahu Baekhyun, tidak serantan. "Sadarlah. Omongan pesimismu itu akan membuat semua tampak semakin buruk."
Setelah itu, Baekhyun tidak berujar apa-apa lagi, dia membawa diri untuk beranjak dari dudukannya dan memasung kaki-kakinya disebelah Kris—yang sedang memandangi betapa damai wajah Kyungsoo melalui pembatas kaca. Ia hanya tak mengira Kyungsoo ternyata mulai menyukai tinggal didalam ruangan penuh bau obat itu.
"Jangan membuat kakak-kakakmu marah, Baekhyun-a, jangan buat mereka saling menyalahkan diri dan bertengkar lagi. Ini sudah sulit," Kris tidak perlu melirik Baekhyun lewat ekor matanya untuk tahu apa reaksi kakak Kyungsoo ini. "Appa tidak ingin mengecewakan kalian, jadi apapun yang terjadi setelah ini, kalian harus tahu bahwa kalian punya hidup masing-masing. Jika Kyungsoo ada dikemungkinan terburuknya, Appa ingin kalian bisa menerima—"
"—apa Appa barusan menginginkan kematian Kyungsoo?" sambar Baekhyun, tanpa bertele-tele.
"Mana mungkin seperti itu, Baek-a?" Kris tahu segala ucapannya akan berbuah kesalahpahaman jika diteruskan. Karena Baekhyun sedang tidak stabil, hatinya sudah hancur berkeping pun dengan pikirannya yang jungkir-balik. Percuma dengan sebanyak apapun pengertian yang Kris berikan padanya, Baekhyun hanya akan menolaknya mentah-mentah. "Appa tanya, apa kau sendiri tidak yakin kalau Kyungsoo akan kembali sadar?"
Baekhyun tetap memusatkan pandangannya pada Kyungsoo, "Aku tidak tahu,"
"Apa Baekhyun mau ikut masuk?"
Han Yun Mi disana, ia sempat mendengar obrolan singkat Tuan dan anak majikannya ini. Maka dari itu, Yun Mi memberanikan diri untuk menginteruspi, sekadar untuk menawarkan bantuan pada Baekhyun.
"Tapi, hari ini waktunya Imo dan Samcheon," Baekhyun menanggapi dengan suara tertahan.
Setelah empat hari Kyungsoo disana tanpa boleh satu orangpun mengunjunginya, akhirnya Kyungsoo sudah boleh dijenguk oleh dua orang saja perharinya. Baekhyun sudah memakai jatahnya bersama Jongin kemarin. Sedangkan, dua hari lalu Chanyeol dan Kris telah menjadi dua orang pertama yang diperbolehkan melihat kondisi Kyungsoo dari dekat. Ada banyak bisikan yang diutarakan mereka, sedikit banyak berharap telinga Kyungsoo mampu menyerap kerinduan ini dan membawa itu sejalan menuju hatinya.
Yoo Seok memutuskan untuk mengalah—ia toh tidak cukup kuat untuk menyaksikan cucunya dikelilingi berbagai macam alat medis yang menanggung setiap tarikan nafasnya. Yoo Seok menyepakati bahwa ia bisa masuk ke ruangan itu bersama Gwen saja. Nanti, masih banyak waktu tersisa.
"Imo tidak tahu harus bicara apa pada Kyungsoo nanti." Yun Mi meneruskan, "Kalau Samcheon dan Baekhyun-a yang masuk kesana, mungkin tidak akan sia-sia."
Baekhyun menggeleng, "Tidak usah, Imo. Aku tidak akan egois dan merampas kesempatan Imo untuk menemui Kyungsoo, kok,"
Yun Mi akhirnya membiarkan Baekhyun kembali duduk disamping Jongin. Seketika itu juga, Jongin menyambutnya dengan sebuah pelukan, tapi lagi-lagi Baekhyun enggan mengedipkan matanya.
"Masuklah, Yun Mi-a." Kris memutus benang-benang kusut dikepala Yun Mi, ia juga memutus kontak matanya yang terus memandangi satu persatu orang yang berkumpul disini—ada Kakek anak-anak Wu, Chanyeol, Jongin, Baekhyun, Tuan majikannya, dan suaminya sendiri. "Tidak ada waktu lagi,"
"Oh, ba—baik, Tuan."
Bukan Yun Mi yang menimpali, tapi Jin Il lebih dulu menyahut. Tak perlu menunggu apapun lagi, mereka berdua sudah berganti pakaian dan melangkah bersama masuk ke ruangan Kyungsoo. Seketika itu, bau obat-obatan menguar jelas menusuk-nusuk hidung keduanya. Jin Il dan Yun Mi bergantian menekan sanitizer agar cairan licin tersebut mensterilkan tangan mereka. Lantas, dua-duanya duduk di bangku yang telah disediakan.
"Aigoo, Kyungsoo-ya, kau sudah tidur terlalu lama, Nak," Yun Mi tak mampu membendung air matanya, "Nyonya Wu, tolong jangan bawa Kyungsoo jalan-jalan seperti ini, kami semua masih menginginkan keberadaannya disini." Beberapa kali ia juga menyekat tenggorokannya, nafasnya terblokir disana.
Jin Il mengelus punggung Yun Mi bersama tatapan sendunya. Monitor disebelah ranjang Kyungsoo menunjukkan garis-garis yang mereka semua takutkan akan berubah lurus. Belum lagi, suara-suara pendeteksi detak jantung Kyungsoo yang berbunyi tanpa irama. Menurut Jin Il, ini sangat mengerikan.
"Kyungsoo-ya, jangan lupakan janjimu untuk berlibur di desa Samcheon, ya?"
Yun Mi melirik Jin Il—ternyata tak lama setelah itu, mereka malah sudah terisak.
Baru beberapa bulan lalu mereka berdua meninggalkan rumah Wu sekaligus kelima penghuninya. Baru beberapa bulan lalu mereka meyakini bahwa keluarga Wu akan baik-baik saja meski tanpa bantuan keduanya. Ternyata semua anggapan mereka berbanding terbalik, tidak ada buah manis yang bisa dipetik.
Seharusnya mereka tidak perlu pergi dari rumah itu. Seharusnya mereka tidak usah menuruti permintaan Kris.
Dengan begitu, anak-anak Wu tidak akan sesengsara ini.
-ooo-
"Kau tidak perlu sering-sering kemari, Krystal-a,"
"Kenapa?" Krystal baru saja selesai membuka tutup kaleng soda untuk kemudian ia serahkan pada Jongin. "Minum dulu, nanti kau dehidrasi." Jongin hanya menerima sodoran itu tanpa berniat meminumnya seperti perintah Krystal.
"Bagaimana dengan kuliahmu kalau kau terus-terusan kesini?"
Krystal mengesah, "Bukan saatnya kau mengkhawatirkan aku. Sekarang semua orang disini sedang sibuk memperhatikan Kyungsoo dan mungkin Baekhyun. Lalu, siapa yang memperhatikanmu kalau bukan aku?"
Jongin jadi menghela napasnya, lalu menimbang-nimbang kaleng soda ditangan sambil memandang nun jauh menuju bermacam-macam orang yang sudah memenuhi lobi Rumah Sakit ini, entah apa tujuan mereka, bisa jadi mengunjungi seseorang atau malah ingin memeriksakan kesehatan. Jongin juga tidak seharusnya memedulikan itu, tapi ingatannya jadi tersimpan terus di sosok Kyungsoo yang punya nasib lebih menyedihkan dibanding orang-orang ini.
Mengapa mereka bisa baik-baik saja sementara Kyungsoo tidak bisa?
Selalu menjadi pertanyaan tanpa jawaban bagi Jongin.
"Jongin-a, kau melamun lagi,"
Jongin tersadar dan pada akhirnya, memusatkan diri pada Krystal, "Aku hanya sedang mempersiapkan diri seandainya aku harus menghadapi kehilangan satu lagi orang yang kusayang,"
"Sshh, jangan melantur, bodoh." Krystal tak sadar sudah reflek memukul kepala kekasihnya, "Kyungsoo pasti sadar—"
"—semua orang hanya bisa mnegatakan itu seolah-olah diri mereka adalah Tuhan." Jongin melirih, kali ini sambil menundukkan kepalanya. "Apa mereka tahu rencana Tuhan?"
"Bukan begitu," Krystal memang tidak tahu harus bagaimana lagi menghadapi Jongin—yang sedang menutup diri begitu rapat. "Apapun yang terjadi, kita harus berpikiran positif, kan?"
Jongin tahu pikirannya sangat kosong sekarang. Kehadiran Krystal disini sama sekali tidak memudahkannya. Bukan berarti Jongin membenci Krystal, tapi jujur, ia seolah mati rasa sekarang. Ia benar-benar tidak bisa mengurusi orang lain selain dirinya sendiri.
"Cih, omong kosong,"
Bagaimanapun, Krystal tidak boleh terpancing, ia hanya harus memaklumi sikap Jongin di masa-masa sulit seperti ini. Ia harus paham seberapa menyakitkannya jadi seorang kakak yang tidak tahu apa adiknya bisa hidup kembali atau tidak.
"Apa kau tahu rasanya kehilangan?"
Krystal secara naluri menoleh pada Jongin, ia tentu ingat betul jawaban atas pertanyaan itu.
"Ibuku meninggal karena penyakit seperti Kyungsoo," Kemudian, Krystal terkekeh. "Banyak juga orang yang mati karena penyakit sialan itu,"
Jongin jelas terkejut, ia kaget bukan main. Selama ini, Krystal tak pernah membuka luka itu.
"Kenapa kau tidak pernah cerita—"
"—buat apa? Supaya kau mengasihaniku?" Krystal lantas meraih tangan Jongin yang tak menggenggam kaleng soda, "Kalau aku cerita, kau bisa saja makin pesimis terkait kondisi Kyungsoo. Aku tidak mau kau punya pikiran macam-macam."
Baru kali ini, Jongin mempertanyakan dimana ketulusannya selama ini. Baru kali ini, mengapa ia bisa lalai dengan semua hal yang berhubungan dengan Krystal ini.
Sejahat inikah dia?
"Mianhae, Krystal-a."
-ooo-
"Yoona-ssi, tolong kirimkan separuh uang masuk perusahaan ke rekeningku," Kris memelankan suaranya, ia lantas menyelipkan diri diantara dinding koridor—yang letaknya agak jauh dari ruangan Kyungsoo. "Oh, dan sampaikan maafku untuk kalian semua, gaji bulan ini mundur sebentar, ya?"
Kris tentu tidak tega saat mengucapkan kalimat terakhir itu, tapi tentu tak ada pilihan lain.
["Ne, Sajang-nim. Tidak perlu mengkhawatirkan kami dan semoga Kyungsoo cepat sembuh."]
Suara lembut Yoona baru saja membelai telinga Kris dan dengan ungkapan barusan setitik harapan muncul dihatinya—ternyata masih ada orang yang mendukungnya, masih ada orang yang memedulikannya.
Klik.
Kris sudah memutus sambungan teleponnya.
"Appa."
Ada Chanyeol disana, si jangkung ini sedang mengantongi kedua tangannya dan memandang Kris dengan tatapan bertanya-tanya.