Serasa terpisah dari dunia nyata.
Kyungsoo tidak bisa mendengar apalagi menyadari apa saja yang sedang terjadi disekitarnya.
Tempo hari lalu, saat ia meneteskan air matanya, dia hanya sedang berjuang sekuat tenaga untuk mendorong makhluk mengerikan yang menindihnya. Makhluk super besar, dengan bulu-bulu lebat di sekujur tubuh, dengan taring tajam memanjang di mulut, serta dua tanduk merah menyala itu berada diatas tubuhnya.
Kyungsoo sudah menjerit keras-keras, tapi ruangan gelap ini meredam suaranya.
Sekarang, Kyungsoo bisa melihat Ayahnya—tidak dengan wajah bahagia sedang menyambutnya.
"A—Appa,"
Kyungsoo tidak tahu mengapa ia malah beringsut mundur dan tangisnya sudah tak terbendung. Ia bisa lihat Kris berderap menghampirinya dengan langkah menghentak, ia bisa lihat Kris memancarkan aura mematikan dan menyorot matanya culas.
"A—aku ta—takut, Ap—ah!"
Kyungsoo memekik, ia sempat memberontak, tapi tangan besar Kris malah sudah terlingkar di lehernya.
"A—hah—Ap—"
Sekelilingnya merupakan sebuah ruangan sangat sempit hingga hanya memuat dirinya dan Ayahnya. Dinding-dinding bergerigi seolah siap menggilas badannya. Kyungsoo tahu bahwa sumber cahaya hanya berasal dari bohlam kuning diatas kepala mereka. Ia merasa pengap disini, terlebih dengan cekikan Kris yang entah sampai kapan akan berakhir.
"Mati! Mati! Mati kau, anak sialan!"
Kyungsoo mendelik, tidak tahu apa dosanya sampai-sampai Kris meneriakkan sumpah serapah seperti itu.
Kyungsoo bisa merasakan kepalanya berputar dan pandangannya berbayang. Ia juga bisa merasakan Kris semakin menekan kedua tangan yang menjerat lehernya, benar-benar sudah merenggut paksa sisa-sisa nafas yang mati-matian ia gapai.
Kyungsoo tercengang, tidak tahu mengapa Kris bisa semarah ini padanya, bahkan tega menyaksikannya nyaris mati.
BRUK!
Kris lantas melepas cekikannya dengan membanting kasar badan kurus Kyungsoo, sebabkan punggung anak bungsunya ini menabrak dinding dan ada bercak darah menggaris disana. Kris tidak peduli seberapa runcing ujung gerigi dinding tersebut dapat melukai Kyungsoo, nyatanya ia lebih memilih untuk berjongkok dan mengamati Kyungsoo yang mengerang kesakitan.
"Kau—" Kris menggeram, marah. "—apa kau tahu seberapa menyusahkannya dirimu? Hah?!"
"Appa—hah—Appa," Kyungsoo memang sudah bisa melarikan diri dari kungkungan Kris semula, ia bisa kembali menyuplai pasokan oksigen untuk paru-parunya. Tapi, punggungnya terasa sangat perih sekarang, ada panas menjalar disana, ada percikan api disana—rasanya begitu. "Aku—aku Kyungsoo,"
Kyungsoo pikir, orang ini hanya jelmaan Ayahnya. Dia bukan sama sekali Ayahnya. Mana mungkin Ayahnya memperlakukannya sekejam ini. Jadi, tidak ada salahnya menjajal peruntungan untuk mengingatkan orang ini akan siapa dirinya. Ya, mana tahu, suasana mencekam ini akan berubah menjadi atmosfer yang Kyungsoo inginkan.
"Bodoh,"
Kyungsoo terkesiap, lantas menjerumuskan tatapan penuh antisipasinya pada Kris.
"Ya, kau bodoh,"
Namun, belum selesai Kyungsoo mencari titik temu dari kenaasan yang menimpanya saat ini, ia malah melihat ketiga sosok kakaknya berdiri dibelakang Kris. Chanyeol memegang sebuah cambuk, Jongin memegang sebilah belati, dan Baekhyun memegang sebuah tongkat kayu—untuk apa semua benda menakutkan itu? Kyungsoo masih harus menemukan jawabannya.
"A—apa yang—kalian kenapa?!"
Teriakan Kyungsoo barusan malah mengundang Chanyeol, Jongin, dan Baekhyun untuk bergabung di posisi Kris.
"Apa kau takut?" Kris bersuara lagi, lalu memberikan sebuah sentuhan di ceruk leher Kyungsoo yang membentangkan bekas kemerahan. "Apa kau takut mati?"
Mati—Kyungsoo tidak memungkiri bahwa mati menjadi salah satu hal yang ia takuti.
Setelah itu, Kyungsoo malah tenggelam lagi, ia malah terkubur lagi, sama sekali tidak tahu hal menegangkan apa yang sehabis ini ia hadapi.
-ooo-
"Appa! Ja—jari-jari Kyungsoo ber—bergerak!"
Baekhyun baru saja tidak salah lihat, tentu matanya yang normal dan tidak minus ini, tidak akan salah lihat. Ia jelas-jelas melihat Kyungsoo mengangkat sebentar telunjuknya, sangat sebentar, mungkin hanya sedetik—tapi, ini bisa dianggap sebagai kemajuan, kan?
"Kau yakin?" Kris memandang bergantian pada Baekhyun—yang masih terkesima—dan pada objek yang diteriakkan anak nomor tiganya barusan. Ia lantas memegangi jemari Kyungsoo dan turut memperhatikannya dengan seksama. "Apa perlu kita panggil Dokter Choi?"
Mata sipit Baekhyun ternyata cukup jeli, ia seyakin itu sampai menganggukkan kepalanya berulang kali, sangat antusias. "Ya. Harus."
Maka, Kris menuruti Baekhyun dan menekan bel diatas tempat tidur Kyungsoo. Selang beberapa detik, bukan Dokter Choi yang datang, tetapi Ji Eun dengan raut khawatirnya.
"Ada apa, Tuan Wu? Apa Kyungsoo ga—"
"—bukan, tadi jarinya bergerak, Nuna."
Ji Eun masih terbawa suasana tempo hari lalu, dimana Kyungsoo mengalami gagal jantung dan membuat semua tim medis kewalahan. Maka, dengan adanya suara bel dari kamar ini, otomatis pikirannya tertuju pada kemungkinan buruk bahwa Kyungsoo kembali dengan kondisi menakutkan seperti itu. Tapi, sahutan Baekhyun barusan malah menenangkan dirinya sekaligus getar gemetar kedua kakinya. Ia mendesah super duper lega sembari mengecek pulse oximeter ditelunjuk Kyungsoo.
"Benarkah? Jari tangan sebelah mana?"
"Itu, yang barusan Nuna pegang, yang ada alatnya."
Kris memandangi wajah Kyungsoo, masih saja terlihat damai. Tapi, dengan fakta bahwa jarinya barusan bergerak, bukankah itu artinya Kyungsoo telah memilih langkah yang tepat? Sebentar lagi dia akan sampai disini.
"Jadi, Ji Eun-ssi, apa ini pertanda baik?"
Ji Eun tidak bisa menahan gelora dalam hatinya, ia tersenyum tulus untuk Kris. "Saya harap begitu, Tuan Wu. Saat ini Dokter Choi belum datang, nanti akan saya panggilkan segera sesaat setelah dia datang."
Ya, pada akhirnya, semua ini akan membaik. Ya, pada akhirnya, Kris bisa melepas diri dari gugatan rasa bersalah yang nyaris tak lekang oleh waktu—jika sampai Kyungsoo tak kembali padanya, ia juga akan mati.
-ooo-
"Hyung, Chanyeol Hyung,"
"Mm?" Chanyeol mengunyah Egg Dropnya dengan lumatan-lumatan cepat, ia bahkan tak sempat membalas tatapan Jongin yang duduk didepannya. "Ma—mm—makan, jangan bicara terus,"
"Menurut Hyung, apa saat ini kita sudah tidak punya jarak dengan Appa?"
Baru kali ini, Chanyeol meletakkan roti isinya dan memandang Jongin lamat-lamat. "Apa maksudmu?"
Jongin mengerutkan hidungnya, sebelum menggumam, "Aku lihat Hyung dan Appa, semenjak Kyungsoo dinyatakan koma, kalian—kurasa kalian baik-baik saja."
"Sejujurnya," Chanyeol mengedik, "Aku juga tidak tahu."
Jongin menggeleng sekali, lantas menegakkan badannya di kursi ini, "Maksudku, Hyung, apakah setidaknya Appa benar-benar berubah?" Ia malah menelisik ekspresi wajah Chanyeol sekarang, seolah sedang mencari-cari kesamaan terhadap apa yang ia rasakan. "Buktinya, Appa bilang kalau tidak apa-apa aku tidak menyelesaikan kuliahku, tidak apa-apa kalau Baekhyun menunda kuliahnya—apa itu masuk akal?"
Karena selama bertahun-tahun lamanya, mereka hanya hidup dibawah kuasa doktrin Kris, sebagai anak-anak yang harus menuruti semua perintahnya. Jika ada yang membangkang, maka riwayat hidup mereka juga bisa hancur.
Ini sudah jadi motto.
"Yah," Chanyeol meruncingkan bibirnya, "Waktu itu Appa juga bilang aku boleh mencari pekerjaan yang aku suka—dan bukannya menjadi pewaris takhta Wu Corporation. Kau juga pasti tidak memercayainya, kan?"
"Tidak, sama sekali tidak," Jongin melipat dua tangannya diatas meja sembari menghela nafas berulang kali. "Tapi, itu benar terjadi, kan? Tapi, itu benar keluar dari mulut Appa, kan?"
"Ya." Agaknya, Chanyeol mulai gusar. "Aku tidak tahu kita harus bersikap bagaimana,"
"Kurasa," Jongin melirih dengan suara sumbangnya, "Kita harus mencoba, kita harus melihat perkembangan selanjutnya. Maksudku, kita bisa lihat dulu sejauh mana Appa berlaku seperti ini, bisa saja dia kembali jadi seperti dulu saat keadaan sudah membaik. Ya, kan?"
"Kau benar," Chanyeol—tanpa sadar sudah tersenyum. "Sepertinya, aku cukup senang. Yah, bagaimanapun, selama dua minggu ini, aku seperti menjemput kembali sosok Appa yang hilang beberapa tahun lalu untuk kembali pada kita."
"Semoga,"
Jongin akhirnya bisa menyantap sandwichnya dengan lahap.
-ooo-
Yixing berulang kali membolak-balik kertas diatas mejanya, hari ini memang jadwal temu untuk salah satu pasiennya, Wu Baekhyun—tapi, dia belum juga datang. Bahkan, dua minggu ini, anak itu melewatkan pertemuan-pertemuan terapinya tanpa memberikan alasan yang jelas. Jadi, tentu saja Yixing menyimpan sedikit kekalutan.
"Yixing-ssi, ada seseorang yang ingin menemui Anda,"
Yixing bahkan sampai tidak sadar bahwa Sunny sudah berada didalam ruangannya.
"Oh, apa aku membuat janji dengannya?"
Sunny malah menggeleng, "Tapi, dia bilang, kakaknya sudah membuat janji dengan Anda."
Yixing memutar otak, merasa aneh telah melewatkan hal ini. "Siapa namanya?"
Sunny mengecek buku tamu ditangannya, "Luna, Luyi Luna,"
Kala itu, salah satu sudut bibir Yixing malah terangkat. "Kalau begitu, suruh masuk saja."
Tanpa butuh semenit, Luna sudah benar-benar didalam sini setelah diantarkan Sunny barusan. Wanita semampai dengan rambut magenta tergelung ini sedikit-banyak mencuri atensi Yixing hingga membuatnya berdiri.
"Jadi, aku tidak pernah ingat kalau Hansu Hyung membuat janji denganku untuk mempersilahkan adiknya datang." Yixing lantas menunjuk kursi didepannya dan membiarkan Luna melangkah kesana untuk duduk menyilangkan kaki sekian detik setelahnya. "Ini pertemuan kedua kita dan sayangnya, kau disini bukan sebagai pasienku."
Luna mendengus, remeh. "Perempuan tadi cerewet sekali. Bagaimana bisa seorang psikiater mempekerjakan asisten seburuk itu?" Ia malah mendumel, sengaja mengabaikan ocehan Yixing.
"Ada apa?" Yixing benci berbasa-basi. "Kau butuh apa?"
"Kau pasti punya obat untuk—kau tahu, antidepresan?" Luna memicing pada Yixing, "Aku tidak bisa sembarangan membelinya di Apotek, jadi berikan aku resepnya."
"Masalahnya apa sampai-sampai kau membutuhkan resepku untuk obat itu?"
Luna mengikuti pergerakan Yixing yang kembali duduk dikursinya, lantas keningnya berkerut sampai pria didepannya ini kembali menunjukkan lesung pipi di wajah. "Tidak ada masalah apa-apa," Ya, mana mungkin Luna menceritakan alasannya meminta resep antidepresan pada Yixing jika yang membuatnya nyaris depresi adalah—bagaimana jika Kyungsoo tidak selamat dan itu gara-gara dia tahu hubungan gelap Ayahnya? Bukankah hanya Luna yang patut disalahkan?
Sesaat Yixing memijit ujung pulpennya berulang kali sehingga ada bunyi-bunyian yang mengganggu Luna. Tapi, kertas diatas meja malah menyedot perhatiannya karena ada nama anak nomor tiga Wu Yifan disana.
Apa Wu Baekhyun juga mengalami masalah mental—karena dirinya?
"Wu—pasienmu adalah Wu Baek—"
"—Yixing-ssi, pasien Wu Baekhyun baru saja datang,"