Ketika malam semakin sunyi, Kyungsoo tidak berharap banyak. Ia hanya cukup senang mendapati telinganya masih berfungsi dengan sangat baik—karena ia bisa dengar suara igauan dan dengkuran dari orang-orang di kamar ini. Sayangnya, mata bulatnya tak begitu baik—ia gagal melihat sekeliling ruangan dengan jelas, semuanya masih berbayang disini.
Jadi, Kyungsoo memutuskan untuk terpejam lagi.
"Ky—Kyungsoo-ya," Namun, urung. Namanya mendadak terpanggil oleh—Chanyeol. Kakak pertamanya itu segera menggosok-gosok kedua matanya, merasa aneh dengan apa yang dilihatnya saat ini. "Ka—kau—Appa!"
Chanyeol malah mengguncang Kris yang memang tidur pulas disebelahnya. Merasa terganggu, Kris akhirnya terbangun dan duduk tegap dengan mata terpejam separuh. "Wa—wae?"
Karena Chanyeol tidak menjawab pertanyaannya, Kris malah membelalak ketika mendapati Chanyeol sudah berdiri tepat disamping ranjang Kyungsoo dan ada sebuah interaksi disana. Sehingga Kris berdiri, berjalan perlahan, memastikan bahwa tidak ada kekeliruan baik dari pendengaran atau penglihatannya.
"Appa, Ky—Kyungsoo sadar,"
Kris yakin barusan memang suara Chanyeol, tapi batinnya bergejolak lebih kencang sehingga kini fokusnya tidak terbagi pada apapun selain pada—Kyungsoo.
"Appa, ki—kita harus panggil Dokter,"
Kris buru-buru menggeleng dan berhasil mencegah pergerakan Chanyeol.
Sedikit banyak, Kris hanya sedang memilih salah satu jalan dari dua jalan didepannya. Ini kenyataan atau ini jebakan—Kris tidak ingin salah memijak lagi. Tapi, mata bulat Kyungsoo yang sudah tiga pekan tidak terbuka itu, punya cahaya. Tapi, bibir hati dalam kurungan oxygen mask itu, mengucap sesuatu. Memang masih tampak lemah, tapi Kris yakin—anak bungsunya telah memilih mereka.
"Kyungsoo-ya." Kris memanggil, mulai mencondongkan tubuhnya pada tubuh Kyungsoo. Ia memeluknya tanpa basa-basi, ia basahi wajah Kyungsoo dengan air matanya, ia timpakan semua kerinduannya saat ini juga. Luruh begitu saja. Kris menangis, meraungkan tangis penuh syukur tiada tara. "Terima kasih—jeongmal gomawo, Kyungsoo-ya."
Kris patut berterima kasih. Nomor satu pada Tuhan—karena telah mengabulkan pintanya. Nomor dua pada Kyungsoo—karena anak kesayangannya memilih kembali, memilih bertahan, memilih bersama dengan seorang Ayah bejat dan tiga kakak-kakaknya.
Setidaknya, Kris harus memberi ultimatum pada dirinya sendiri bahwa ia bukan lagi Wu Yifan yang—itu.
Namun, dalam pikiran Kyungsoo, ini semua seperti bukan miliknya. Ia tidak tahu apa yang barusan ia lalui, ia tidak tahu apa yang sudah ia lewatkan, apapun yang terjadi disini tanpanya pasti bukan sesuatu hal yang mudah. Kyungsoo mengenal dua orang ini, Ayah dan kakak pertamanya, tapi perasaan asing merambati hatinya, seolah ia tak berhak mencecap pelukan dan tangisan orang-orang ini.
"Appa dan semuanya sangat sangat merindukanmu, Kyung-a." Ketika pelukan Kris terlepas, suaranya berubah serak. "Appa janji akan segera mengeluarkanmu dari sini dan kau tidak perlu masuk kemari lagi."
Bagi Kyungsoo, berkedip terasa sangat sulit. Ada air mata yang merebak di pelupuknya.
"Kyungsoo-ya?!" Berikut adalah pekikan Baekhyun, tentu saja. Entah kapan dia terjaga dan kini sudah berpindah posisi untuk memeluk adik tersayangnya. Adik yang benar-benar hampir merenggut nyawanya. "Wae?! Kenapa lama sekali sadarnya? Kyung-a, jinjja! Appa, apa benar Kyungsoo—hiks—Kyungsoo sudah sadar? Di—dia akan sembuh, kan?"
Jongin ternyata juga mengikuti jejak Baekhyun, bedanya ia lebih tenang diluar, tapi porak-poranda didalam. Secara bersamaan, Jongin dan Baekhyun memeluk Kyungsoo, tak begitu lekat karena berbagai pertimbangan termasuk kondisi Kyungsoo yang belum memungkinkan dan alat-alat medis yang jika tersenggol sedikit saja bisa fatal akibatnya. Jadi, Jongin dan Baekhyun sama-sama bertumpu pada berat masing-masing sehingga Kyungsoo tak perlu merasakan berat mereka.
Ketika Jongin mendekat pada salah satu telinga Kyungsoo, Baekhyun memutuskan untuk menjauh lebih dulu. "Kyungsoo-ya, Hyung janji, Hyung janji, setelah ini tidak akan ada yang mengecewakanmu,"
Chanyeol dan Baekhyun memundurkan langkah, saat rangkulan Chanyeol pada leher Baekhyun mengerat, Jongin membalik tubuhnya sambil terus mengusap matanya yang berair. Karena Chanyeol masih belum sanggup menguasai sesak didadanya, ia memilih untuk mendorong punggung sempit Baekhyun menuju ranjang Kyungsoo.
"Hei," Baekhyun menyapa, bersama sedu-sedan tangisannya yang tak mau berhenti. "Saat kau tidak sadar, aku menangis. Saat kau sadar, aku juga menangis. Hyung payah, ya?" Setelah itu, Baekhyun mengelus puncak kepala Kyungsoo, membelai pelan-pelan rambut hitamnya. "Saat kau tidak sadar, duniaku, dunia kami, dunia semua orang disekitarmu runtuh," Memang tidak ada artinya Baekhyun menceritakan hal ini pada orang yang baru sepuluh menit lalu bangun dari tidur panjangnya. Tapi, sungguh, ia ingin membagi bebannya sedikit, supaya bisa menguap beberapa. "Saat kau tidak sadar, kupikir, kau akan meninggalkanku, meninggalkan kami. Karena Eomma disana pasti lebih bisa menjagamu dari pada kita disini,"
Selanjutnya, Baekhyun menghambur lagi untuk memeluk Kyungsoo, kali ini enggan melepasnya.
Tapi, Chanyeol tentu tak membiarkan momen itu berlangsung terlalu lama. Jadi, ia segera menarik pelan Baekhyun dan membawanya pada Jongin—biarkan keduanya, lagi-lagi, mengadu tangis haru. Sekarang, Chanyeol sudah berani berhadapan langsung dengan Kyungsoo, adiknya yang selalu kesakitan—yang bukan hanya tiga pekan tak ia lihat, tapi terasa berabad-abad tak bersua dengannya, terhitung sejak ia kabur dari rumah Wu dan sebabkan semua malapetaka ini terjadi—gara-gara Wu Chanyeol, si putra sulung Wu yang menolak jadi pewaris perusahaan Ayahnya.
Chanyeol masih menyalahkan dirinya sendiri.
Karena sejak tadi belum ada yang melempar senyum pada Kyungsoo, jadi Chanyeol yang melakukannya. Ia mendekat dan membiarkan jemari-jemari besarnya merabai sisian wajah Kyungsoo dengan pipi tirusnya, lantas mulai mendaratkan kecupan lama di kening berkeringat itu.
"Jebal, jangan seperti ini lagi, Kyungsoo-ya," Bukan berupa bisikan, Chanyeol mengucapkannya setelah tiga menit di posisi terakhir. "Hyung—hiks—Hyung, tidak akan bisa memaafkan diri sendiri kalau kau sampai tidak kembali kesini."
Kris telah memperhatikan semua adegan yang berlalu didepannya. Ia tahu bahwa Kyungsoo belum tentu—membaik. Tapi, untuk saat ini, ia cukup lega, ia lega bukan main, bahwa Kyungsoo tidak meninggalkannya disini bersama rasa bersalah.
Jadi, Kris mengambil alih tempat Chanyeol, "Appa—disini. Kalau-kalau kau mencari Appa, Appa ada disini, Kyungsoo-ya, Appa tidak kemana-mana, Appa tidak akan pergi. Hanya ada Appa disini bersamamu," Setelahnya, Kris memeluk Kyungsoo untuk kesekian kali, ditambah tangisan-tangisannya yang tak terelakkan. "Appa mohon, Appa mohon—tolong, tetaplah memilih Appa, tetap memilih kami, Kyungsoo-ya."
Kyungsoo tentu tak bisa tahu, tak cukup baik untuk mencerna, mengolah, dan memahami apa maksud orang-orang ini.
Satu hal yang ia tahu—ini keluarganya. Tidak ada alasan untuk takut pada mereka. Satu hal yang ia tahu—mimpinya tidak nyata. Tidak ada yang bisa menyakitinya, bahkan keluarga sebaik mereka pun tidak mungkin.
Sayangnya, Kyungsoo merasakan separuh dirinya masih di awang-awang.
-ooo-
"Chagi,"
Kris terkesiap saat Luna sudah membelai pipi kirinya dengan telunjuk lentiknya, "Wa—wae?"
"Kau melamun lagi,"
Ketika Kris mendekatkan pinggang Luna pada dirinya, saat itu juga berkas-berkas ingatan keadaan di rumah hilang dari benaknya. "Kenapa kau selalu ingin tahu apa yang sedang kupikirkan, mm?" Luna tersipu sesaat setelah Kris menyentil hidungnya. "Kau tidak perlu khawatir, aku akan bersamamu sampai akhir,"
Tanpa Kris sadari, ada seringai licik tercetak di bibir Luna. "Aku tidak berharap banyak. Aku juga tahu seberapa besar kecintaanmu pada istri dan anak-anakmu. Jadi—"
—Luna tidak bisa bernafas, karena pagutan lembut Kris merenggut akses udaranya.
"Omong kosong," Luna bermonolog. Seketika itu juga membuyarkan memori masa lalunya dan kembali melanjutkan cucian piringnya, tentu dengan hati tak senang. "Sampai akhir apanya?"
Namun, Jaehyun sudah tiba disampingnya dan berkacak pinggang disana. "Imo bicara dengan siapa?"
"Ya, kau tahu sendiri kalau bibimu itu suka bicara sendiri, Jaehyun-a," Bukan Luna yang menyahut, tapi Hansu—yang baru saja selesai melempar mantelnya di sofa. "Harusnya, kau bicara saja dengan Yixing, dari pada disangka gila—"
"—Oppa!" Luna akhirnya berbalik, masih dengan sarung tangan penuh busa sabun. "Hentikan."
Jaehyun malah terkikik, "Tadi, aku dan Appa beli cokelat."
"Memangnya kalian dari mana?"
Luna sudah menyelesaikan tugasnya, sehingga ia bisa fokus bergabung dengan perbincangan kakak dan keponakannya di ruang tengah. Hansu sudah duduk sambil menyilangkan kaki, sementara Jaehyun memilih untuk duduk sambil menjulurkan kaki-kakinya. Bagi Luna, ini pemandangan yang sama sekali tidak enak dilihat.
"Kita baru saja menjenguk Kyungsoo," Jaehyun membalas disela kunyahan-kunyahan keripik kentang yang memenuhi mulutnya. "Sengaja tidak kuberitahu pada Imo kalau Kyungsoo sudah sadar."
Jadi, itu sebab mengapa Jaehyun tak berhenti senyum sejak tadi pagi. Tapi, tunggu, bukan itu masalahnya. Luna merasa cukup janggal disini, sejanggal ini karena ia tidak tahu reaksi seperti apa yang harus ia tampilkan.
"Kalau kau tanya bagaimana kabar Wu Yifan yang mati-matian kau kejar itu—dia tak tampak baik. Tentu saja, anaknya baru saja melalui ambang hidup dan mati, jadi kau tidak usah penasaran lagi dengan—"
"—Kyungsoo sadar?" Luna cukup terkejut, dalam artian bahwa bukan dirinya pihak yang disalahkan jika sampai Kyungsoo meninggal. "Dia benar-benar sadar, kan?"
Jaehyun mengangguk, begitu antusias. "Akhirnya, aku bisa hidup tenang. Kyungsoo memang belum menunjukkan banyak perkembangan setelah sadar ini, tapi kata Baekhyun Hyung, setelah melakukan pemulihan dan fisioterapi, dia akan kembali seperti semula. Oh. Imo toh juga tidak peduli, ya?"
"Bukan, ah—ahni, aku sangat peduli. Maksudku," Luna malah kehabisan kata-kata, sehingga Hansu menangkap gelagat aneh adik tirinya ini. "Ah, kalian tahu, aku tidak pandai menunjuk—"
"—Luna-ya, Oppa mohon, jangan hancurkan keluarga itu lagi." Hansu berujar, dengan intonasi super rendah dan atmosfer pun berubah serius sekarang. "Mundur saja. Mundurlah. Kau pasti masih ingat semarah apa aku dan Aboeji waktu itu, kau pasti masih ingat bahkan mertua Yifan datang pada kita dan memohon—sungguh, itu sangat memalukan, kan? Jangan sampai terulang. Jangan coba-coba berpikir untuk jadi istri Yifan apalagi Ibu dari anak-anaknya. Sampai kapanpun, kau tidak bisa, kau tidak mampu, menggantikan mendiang Violetta Hwang."
Luna tertegun sesaat. Tapi, memori itu malah muncul di ingatannya.
"Aku tidak bisa marah disini," Yoo Seok enggan mendudukkan diri. Ia akan tetap berdiri, sekalipun CEO Jung Enterprise ini mempersilahkannya berkali-kali. "Tujuanku kemari adalah untuk mengembalikan keluarga putriku, adalah untuk memperbaiki kesalahan menantuku, adalah untuk membahagiakan cucu-cucuku."
Jung Dong Jin—seusia Yoo Seok—mendekat pada posisi rekannya ini. "A—apa maksudmu? Apakah ada kesalahan diantara kerja sama perusahaan menantumu dan putriku? Apakah—"
"—kesalahannya ada pada putrimu," Yoo Seok akhirnya memandang mata berselaput Dong Jin dengan siratan marah. "atau menantuku."
Dong Jin paham betul bahwa Yoo Seok tengah kecewa saat ini, amat sangat kecewa. Ada beberapa kesahan nafas berat disusul dengan gemertakan gigi. "Sudah kubilang, aku tidak ingin marah-marah di rumah orang. Jadi, biar kupersingkat. Bilang pada putrimu, jauhi menantuku sekarang juga, putus hubungan apapun yang terjalin diantara keduanya, aku tidak mau putriku sakit lagi, aku tidak mau, Dong Jin-a."
Dong Jin, jelas saja, termangu.
Masih cukup heran, Luyi Luna—putri angkatnya mampu berbuat sejauh ini.
"Ti—tidak mungkin Luna melakukan—"
"—jangan menyangkalnya, jangan membantahnya." Yoo Seok memotong, "Katakan itu padanya, aku juga tidak ingin hubungan pertemanan kita hancur karena masalah ini. Jadi, Dong Jin-a, kumohon padamu. Tolong kembalikan keluarga harmonis putriku,"
Belum sempat Dong Jin membalas, langkah menghentak Yoo Seok tidak dapat dihentikan lagi.
Ketika Yoo Seok sampai di pintu keluar, ia malah berpapasan dengan Luna. Wanita idaman menantunya, wanita yang membuat menantunya berpindah dari putri kesayangannya. Wanita ini yang menghancurkan Violet sedemikian rupa. Namun, Yoo Seok tak melakukan apa-apa, persitegangan ini ia akhiri dengan tatapan tajam menuju sepasag iris menggoda milik Luna. Setelah itu, Yoo Seok enyah dari sini, pergi dengan limousinnya.
Luna mendengar itu semua—Luna tahu hubungannya dengan Kris akan tamat setelah ini.
Jadi, saat ia mengambil langkah hati-hati, Dong Jin, Ayahnya, sudah lebih dulu berhadapan dengannya.
PLAK!
Tamparan keras itu barusan membuat pipi kanannya memanas.
"Apa yang kau lakukan?!"
Luna tahu akar masalahnya, jadi ia hanya akan menunduk.
"Luyi Luna, jawab Ayah!"
Luna akhirnya mendongak dan menemukan kilatan amarah terpancar dari mata Ayahnya. "A—aku, aku, aku hanya—"
"—putuskan hubungan kalian."
Luna mengerjap, lalu mendelik tak suka. "Andwe! Tidak bisa!"
"Luna!" Dong Jin mengeraskan suaranya sehingga Hansu dilantai atas tergopoh menghampiri keributan disini. "Ayah bilang, akhiri hubungan bejatmu dengannya!"
Hansu segera menarik mundur Dong Jin, lalu bertanya pelan. "Waeyo?"