"Wu Kyungsoo?"
Ada pemuda berpipi gembil mendatangi Baekhyun dan Kyungsoo yang terduduk di ruang tunggu.
"Oh, ya. Ini adik saya yang mau terapi," ujar Baekhyun, seraya bersiap mendorong kursi roda Kyungsoo. "Mm, tapi, Ayah saya masih di toilet."
Pemuda tersebut mengangguk kecil diselingi senyum ramah, ia lalu membungkuk didepan Kyungsoo dan mengamati pasien barunya dengan pandangan mata menyelidik. "Sepertinya, tidur selama tiga pekan tidak terlalu berdampak pada kaki-kakimu, ya." Kemudian, dia mengetuk pelan lutut Kyungsoo. "Apa sakit?"
Kyungsoo terpaksa harus susah payah menggeleng.
"Baguslah. Tidak akan ada banyak sesi terapi yang harus kita lalui, Kyungsoo-ya. Kau pasti cepat pulih dan bisa kembali seperti semula."
Bukan hanya Kyungsoo yang senang bukan main dengan penuturan itu, tapi Baekhyun pun juga harus menahan lompatan-lompatan girangnya. Ada tiga detik sampai akhirnya pemuda tadi buru-buru berdiri setelah melihat Kris bergabung tepat disebelah Baekhyun dan Kyungsoo.
"Anda pasti Tuan Wu. Kenalkan, saya Min Seok, Kim Min Seok, fisioterapis yang akan menangani Wu Kyungsoo."
Kris lantas mengulas senyum lebar dan segera menyambut jabat tangan Min Seok. "Mohon bantuannya, Min Seok-ssi."
"Jadi, saya rasa, melihat kondisi Kyungsoo, mungkin hanya perlu sekitar tiga kali sesi terapi untuk pemulihannya. Tapi, nanti biar saya diskusikan lebih lanjut dengan Dokter Choi." Min Seok memberi sedikit lentera di kepala Kris—dia pikir, ini berarti berita baik karena menurut kesimpulannya, Kyungsoo tidak mengalami cedera parah akibat komanya. "Kalau begitu, apa Anda mau melihat sesi terapinya didalam?"
"Ne!" Baekhyun lebih dulu menggantikan Kris untuk menyetujui saran itu. Jadi, tanpa aba-aba lagi, dia sudah mendorong kursi roda Kyungsoo dan membawanya masuk ke ruangan super besar berisi banyak alat-alat untuk terapi fisik, seperti Ultrasound dan Traksi. "Whoa, ternyata banyak juga orang-orang yang membutuhkan fisioterapi,"
Komentar Baekhyun barusan ingin ditanggapi Kyungsoo, tapi Min Seok—yang Sudha menyusul bersama Kris—malah lebih dulu menyela, "Tentu saja. Mereka ini terdiri dari berbagai usia dan berbagai kasus. Ada yang parah dan ada yang tidak seberapa. Kalau untuk pasien bekas kecelakaan, biasanya butuh waktu lebih lama. Kau bisa mempelajarinya disini," Ia lantas menggeser tubuh Baekhyun agar kini pegangan kursi roda Kyungsoo berpindah padanya.
"Boleh? Aku boleh berkeliling disini?" Bagai ditiup angin surga, jelas saja mata sipit Baekhyun berbinar senang. "Appa, aku jalan-jalan sambil lihat-lihat, ya?"
"Jangan terlalu lama dan jangan sentuh apapun, Baek-a." Kris memberi wanti-wanti, meski Baekhyun sudah melenggang pergi tanpa mau tahu kelanjutan omongan Ayahnya. "Anak saya yang itu tertarik sekali dengan bidang medis, katanya mau jadi Dokter."
Min Seok terkikik, "Yap. Terlihatnya memang seperti itu, Tuan."
"Tapi, apa saja yang perlu Kyungsoo lakukan dalam terapinya, Min Seok-ssi?"
"Karena Kyungsoo merupakan pasien serangan jantung dan telah melalui masa vegetatif, jadi sebagian besar otot dan sendinya mungkin masih terasa lemah, juga tulang-tulangnya yang terasa kaku. Untuk itu, terapi akan dilakukan secara rutin dan yang jelas, saya akan menyediakan sesi-sesi terapi yang mudah dan praktis bagi Kyungsoo." Min Seok lantas mengangguk dengan sangat mantap. "Nah, step pertama, saya mungkin akan melakukan terapi manual, yaitu hanya dengan tangan saya untuk sekadar meringankan nyeri dan membenahi sirkulasi darahnya juga. Selain itu, karena Kyungsoo juga masih kesulitan menggerakkan sebagian tubuhnya, saya mungkin akan menambah terapinya dengan terapi neurologis, ini untuk mengembalikan fungsi awal bagian otak Kyungsoo yang rusak berkat serangan jantungnya kemarin."
Kris—mencoba—memahami setiap penjelasan rumit Min Seok. Intinya, dia hanya perlu mengangguk.
"Anda tidak perlu khawatir, saya dan rekan-rekan saya akan melakukan yang terbaik,"
"Saya titip Kyungsoo, ya, Min Seok-ssi."
"Tentu, Tuan."
Setelah itu, Kris membiarkan Min Seok dan Kyungsoo berlalu menjauhi tempatnya. Dia pun duduk dan mengamati sejeli mungkin interaksi keduanya dari sini. Toh, Kris juga perlu waktu untuk menunggu Baekhyun kembali kemari. Seyakin itu Kris bahwa rasa penasaran Baekhyun tidak akan mudah surut.
Ketika Min Seok memarkir kursi roda Kyungsoo di salah satu sudut, ia pun menyadari bahwa masih ada trauma dalam diri Kyungsoo saat melihat keramaian disekitarnya. Jadi, ia berjongok dan meletakkan kedua tangannya di paha pasiennya. Sekadar memberi ketenangan pada si mata bulat ini.
"Hei, Kyungsoo-ya. Tidak perlu takut. Kita coba latihan bicara dulu saja, bagaimana?"
Tidak dipungkiri bahwa meski baru berkenalan beberapa menit lalu, tapi Kyungsoo bisa merasa sangat nyaman dengan terapisnya ini.
"Kau kelas berapa sekarang?" Min Seok memulai, "Coba sambil angkat jari-jarimu sebagai jawabannya,"
Kyungsoo menurut, ia—dengan payah—menggerakkan jari telunjuk dan jari tengahnya, tidak sampai diangkat seperti permintaan Min Seok. Lantas, dengan sekali coba, ia tetap mengusahakan sepatah kata, "Du—dua, SMA."
Min Seok tersenyum sumringah, "Bagus, bagus sekali, Kyungsoo-ya."
"Se—senang berke—nalan de—denganmu, Min Seok-ssi." Butuh delapan detik bagi Kyungsoo untuk menyelesaikan kalimat itu. "Ban—bantu aku untuk sem—sembuh."
Setidaknya, dia cukup senang dengan perkembangan bicaranya—sudah lebih baik.
-ooo-
Yixing menyapukan tatapannya pada setumpuk berkas pasien diatas meja. Ia lalu mengesah, belum memulai apapun, tapi sudah merasa sangat lelah.
"Aku benci lembur," Monolog itu tidak bersambut, ia tetap duduk dengan setengah hati menghadap data-data yang membutuhkan diagnosanya. "Aigoo, coba saja dulu aku lolos jadi pemain sepak bola."
Lagi-lagi, Yixing terpaksa mengeluh. Namun, belum selesai Yixing membalik lembar informasi pribadi salah satu pasiennya, tahu-tahu saja Luna sudah berada di ruangan ini tanpa berniat untuk mengetuk pintu sebelumnya apalagi harus membungkuk minta maaf—dia selalu suka berlaku seenak jidat, hanya itu dalih yang Yixing abadikan.
"Karena jam kerja Sunny sudah selesai, bukan berarti kau jadi bebas masuk," Yixing akhirnya memilih fokus pada tamunya ini. "Oh, dan kenapa kita selalu bertemu di ruanganku? Seperti tidak ada tempat yang lebih menarik saja."
Luna bersedekap sambil berjalan angkuh untuk sampai didepan Yixing. Ia sempat berdeham sebelum membuka mulut, "Aku tidak suka berbasa-basi. Tapi, bagaimana bisa Wu Baekhyun menjadi pasienmu? Apa yang terjadi dengannya?"
"Kau mengenalnya? Oh, dugaanku tidak salah ternyata," Yixing mencibir, lantas menyilangkan kakinya dan menyandarkan punggung—ia jadi harus melupakan pekerjaannya demi meladeni Luna. "Kenapa kau begitu penasaran, Luna-ssi?"
Luna mendengus, "Kau hanya tinggal jawab pertanyaanku, tidak perlu berbelit."
"Maaf saja, tapi aku tidak berhak membocorkan apapun tentang pasienku." Kali ini, Yixing memandang Luna, dia tidak bisa tidak meneliti wanita nyentrik ini. "Tentu aku tidak mau dijebloskan ke penjara. Itu adalah kode etik,"
"Katakan garis besarnya saja dan aku tidak meminta lebih," Luna bersikeras, sambil menaikkan sebelah alisnya dan mulai mendudukkan diri tanpa diminta. "Aku harus tahu."
"Sebelum itu," Yixing memutar kursinya hingga benar-benar lurus berhadapan dengan Luna. Berikut tatapan mengintimidasi miliknya, yang sudah pasti akan membuat nyali Luna menjadi ciut. "Jawab dulu pertanyaanku,"
Karena Luna tidak mengangguk atau menggeleng, Yixing pun menyimpulkan sendiri.
"Apa hubunganmu dengan Baekhyun—oh, atau kuganti saja dengan—apa hubunganmu dengan keluarga Wu?"
Luna malah mengerutkan kening, "Kakakku pasti menceritakan seluk-beluk kehidupan masa laluku padamu,"
"Tidak." Yixing buru-buru menepis, "Tidak sama sekali. Ini murni tebakanku saja,"
"Tebakanmu tentang apa?"
"Tentang diagnosaku padamu,"
"Aku tidak sakit,"
Yixing membasahi bibirnya sebentar, tapi ia tahu benar bahwa Luna sedang kalut. "Kau mau tahu diagnosaku atau kau mau menjawab pertanyaanku tadi supaya aku bisa memberitahumu tentang Baekhyun?"
Ya, siapapun tahu, Luna sedang terpojok—skak mat.
"Aku tidak perlu menceritakan detailnya padamu. Tapi, aku sudah mengorbankan banyak hal untuk Ayah Baekhyun."
Yixing menjentikkan jarinya, merasa puas. "Tepat sasaran. Itu artinya, Ayah Baekhyun punya andil besar dalam hidupmu dan perilakumu yang sekarang."
"Hentikan omong kosongmu. Kau harus menjelaskan padaku apa yang terjadi pada Baekhyun. Kenapa dia bisa jadi pasienmu?"
Yixing, tanpa sadar, sudah menyeringai. "Oke. Uh, Baekhyun, beberapa bulan lalu, datang bersama kakek dan kakak-kakaknya dengan luka-luka baret memenuhi kedua tangannya."
Seharusnya Luna sudah bisa menyimpulkan, tapi, "Self-Injury?" ia harus memastikan.
"Self-Harm. Dia baru saja keluar dari Rumah Sakit karena hampir memutus nadinya sendiri."
"Apa?" Luna bahkan tidak mengira bahwa ia akan seterkejut ini. "Ke—kenapa bisa sampai seperti itu?"
Luna hanya tidak ingin Yixing menjawab pertanyaannya dengan hal yang bersangkutan dengan dirinya.
Tapi, Yixing mengedik, "Kubilang, aku tidak bisa membuka secara sembarangan informasi pasienku pada orang asing."
"Bagaimana kondisinya sekarang?"
"Yah, dia sudah lebih baik, tentu saja." Melihat reaksi Luna yang benar-benar ambigu, Yixing jadi ingin menjajal pancingannya. "Dia juga sempat cerita kalau keluarganya hancur sejak Ibunya meninggal. Ayahnya jadi pemarah, serba perfeksionis, dan tak segan menampar pipi kakak-kakaknya kalau mereka membangkang."
Benar rupanya, Luna malah terkesiap. Pandangannya berubah total, tidak ada kesan dingin, tidak ada aura kaku—dia terdiam dalam satu kekikukan.
"Oh, satu lagi. Baekhyun bilang, dia begitu semenjak kakak pertamanya pergi dari rumah, lalu kakak keduanya menjadi pecandu narkotika."
Yixing bahkan hampir-hampir membeberkan semuanya pada Luna. Ia hanya begitu senang kedapatan jackpot dari perubahan ekspresi Luna yang sangat kentara. Wanita ini—gelisah. Gelisah menandakan bahwa ada sesuatu yang salah.
Namun, di sisi Luna, ia malah mengingat Jongin yang kala itu mengatakan padanya bahwa jangan sampai terjerumus obat-obatan terlarang.
Jadi, semua itu—semua kehancuran itu perkara Wu Yifan?
"Kacau, kan?"
Luna menelan ludahnya beberapa kali. Yixing juga bisa melihat peluh membasahi pelipis wanita ini. Lantas, Luna pun mencicit dengan hati-hati, "Apa diagnosamu terhadapku?"
Yixing malah terbahak, "Kau tahu kalau kau barusan menjilat lidahmu sendiri, kan?" Tapi, ia tetap punya nurani. Sungguh, ia malah tidak tega ketika Luna akhirnya tertunduk pasrah, kalang-kabut dengan pikirannya sendiri. "Setelah kau tahu apa diagnosaku, apa yang mau kau lakukan?"
Luna menggigit bibir bawahnya. Ada gugup menguasai, ada jera menyelimuti—ia panik. "Entah. Kurasa mengikuti saran psikiater jauh lebih baik dari pada membiarkan diriku tersesat sendiri."
Sekarang, Yixing tahu bahwa Luna akan menambah daftar pasiennya.
"Obsessive Disorder." Yixing akhirnya mengulas sebuah senyum sesaat setelah Luna berani bersitatap dengannya. "Psikiater bukannya bisa membaca pikiran. Psikiater hanyalah seseorang yang suka menganalisis dan mengobservasi. Psikiater hanya punya tugas untuk membaca situasi dan membaca perilaku. Subjek tidak pernah tahu bahwa dirinya sedang 'dijelajahi' oleh psikiater."
Luna memperhatikan gestur Yixing yang mengutip salah satu kata dalam kalimatnya.
"Berdasarkan apa yang kubaca dari dirimu—kusarankan, mundur saja. Hentikan semua niatmu, hentikan semua yang akan kau lakukan. Hanya—hentikan. Anggap saja usahamu yang lalu-lalu itu adalah ajang untuk mencari pengalaman. Sekarang, fokus saja pada tujuan hidupmu. Untuk apa kau hidup?"
Kali ini, Luna mengaku kalah.
"Kau bilang, jauh lebih baik mengikuti saran Psikiater dibanding harus menuruti pikiranmu yang ajaib itu, kan? Jadi, dari pikiran, pindahlah ke hati. Apa yang hatimu inginkan untuk hidupmu?"
Sekali lagi, Luna membisu.
"Aku tidak tahu apa alasanmu hingga menjadi seseorang yang punya masalah dengan kejiwaan. Kau pasti juga tidak menduganya. Tidak banyak orang menyadari kalau sebenarnya mereka punya penyakit mental." Yixing meneruskan ocehannya, terus merasuki Luna sampai wanita ini benar-benar jengah, tapi tetap diam ditempat. "Aku tidak akan bertanya lebih lanjut, kecuali disaat kau sendiri sudah memutuskan untuk menceritakannya padaku. Baekhyun begitu. Oh, tapi, jangan salah sangka, aku bukannya sedang mencari tambahan pundi-pundi uang dengan menggaetmu menjadi pasienku."
"Kenapa kau menyuruhku mundur? Kenapa kau menyuruhku berhenti? Dari mana kau bisa—"
"—sudah kubilang, aku bukan cenayang yang bisa tahu apa isi kepalamu dan masa lalumu. Aku mengamati setiap pertemuan kita, aku mengamati setiap gelagat yang kau tunjukkan." Yixing akhirnya menghela nafas, "Ya, dan dari semua itu, aku bisa menarik kesimpulan bahwa yang terjadi padamu menjurus pada keinginan berlebih untuk memiliki seseorang—obsesi."
Luna memejam sebentar. Memang pikirannya berkecamuk, tapi ia bisa memilah beberapa diantaranya.
Sudah tiga orang menyuruhnya mundur, Ayahnya, Kakaknya, bahkan subjek obsesinya—Kris, dan sekarang—Yixing.
Apakah ini memang saatnya ia mundur?
-ooo-
Meski Baekhyun bersikeras bahwa ia bisa mendorong kursi roda adiknya sendirian, tapi Min Seok jauh lebih tidak ingin ditolak untuk mengantar Kyungsoo kembali ke kamarnya.
"Kerja bagus untuk hari ini, Kyungsoo. Sampai jumpa lagi, besok, jangan lupa. Jam sembilan pagi. Oke?" Entah mengapa, Min Seok bisa sesenang ini berkenalan dengan pasien barunya. Jadi, ia menyempatkan diri untuk mengusak sebentar kepala Kyungsoo—sudah terlihat sangat akrab terhitung sejak keduanya bertukar nama—sebelum berakhir pada Baekhyun. "Oh, ya. Baekhyun-a, kan? Sampaikan salamku untuk Ayah kalian, ya."
Min Seok juga sudah berkenalan dengan salah satu kakak Kyungsoo, Wu Baekhyun, yang benar-benar tidak bisa berhenti bertanya bersama rasa ingin tahu tentang apa yang dilihatnya di ruang fisioterapi tadi.
"Ne, gomapta, Hyung."
Ketika pegangan kursi roda Kyungsoo sudah sepenuhnya berpindah ditangan Baekhyun, Min Seok akhirnya mengundurkan diri dengan sebuah lambaian super riang.
"Ayo, masuk. Kau harus makan siang, minum obat, lalu tidur."
Kyungsoo mendongak dan mendapati mata sipit Baekhyun sedang mengerling padanya.
Sepersekian detik setelah Baekhyun mendorong pintu kamar sekaligus mendorong kursi roda Kyungsoo—sorak-sorai malah memenuhi pendengaran keduanya, belum lagi saat dua pasang mata ini menangkap empat sosok dengan balon warna-warni dan buket-buket bunga cantik.
"Astaga. Siapa yang ulang tahun, sih?"
Baekhyun berseru sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, ia memandangi Chanyeol dengan spanduk norak bergambar aneh yang ia peluk, Jongin dengan terompet khas tahun baru yang ia tiup-tiup, sedangkan kedua gadis ditengah kakak-kakaknya itu malah memamerkan nampan-nampan yang penuh dengan minuman dan makanan. Baekhyun jadi harus meninggalkan Kyungsoo dan menghampiri keempatnya dengan kacakan pinggang.
"Hyung, Nuna, sungguh—aku mau tanya, siapa yang ulang tahun?"
Chanyeol mencebik, "Kita 'kan sedang memberi Kyungsoo kejutan—oh, bukan, yah, anggap saja seperti pesta kecil-kecilan untuk merayakan dua hari sadarnya Kyungsoo dari koma."
"Yap. Lagi pula, Kyungsoo juga terlihat senang." Jongin mengintip dengan memiringkan kepala untuk mematri siluet Kyungsoo dibelakang Baekhyun. "Lihat saja, dia tersenyum terus, loh."
Chae Young akhirnya mendekatkan kursi roda Kyungsoo agar berada diantara mereka. "Whoa, chukkae, Kyungsoo-ya. Jangan pikirkan apapun hari ini, hari ini kita hanya akan bersenang-senang. Arrachi?"
"Yay! Uri-Kyungsoo akhirnya bisa tersenyum lagi. Aigoo, senyummu itu benar-benar candu, loh. Kalau Jongin yang senyum, Nuna malah mual. Tapi, kalau kau tidak sama sekali." Krystal pun ikut berdiri didekat kursi roda Kyungsoo dan membungkuk didepannya.
Ketika Jongin berdecak, Chanyeol malah terpingkal.
Kyungsoo sendiri merespon semua sambutan itu dengan reaksi seadanya, "Kenapa ha—harus repot-repot?" Matanya sudah bisa dibulatkan.
"Whoa! Jinjja! Kau sudah bisa bicara!" Lagi-lagi, pekikan nyaring Baekhyun membelah kesunyian. "Wah, padahal baru sehari fisioterapi, canggih juga Min Seok-ssi."
"Appa kemana?" tanya Chanyeol, sesekali celingukan, siapa tahu dari tadi mereka sengaja tidak menganggap Ayahnya. "Ke kantor?"
Baekhyun mengangguk, "Sudah tiga minggu Appa tidak ke kantor, jadi kupaksa saja tadi."
"Yah, sepertinya memang harus begitu." balas Jongin, seraya melipat kedua tangannya didepan dada. "Kalau Appa terlalu lama disini, aku jadi takut karyawannya akan demo."
Ada beberapa detik yang mereka gunakan untuk merenungi semua itu, termasuk tentang Ayah mereka. Tapi, Chae Young sungguh tidak tahan dengan atmosfer canggung ini, jadi dia bertepuk tangan dua kali dan melirik pada Krystal, memberinya sinyal agar memecah suasana menjadi hangat kembali.
"Makan saja, kkajja. Kyungsoo-ya, kau mau makan apa?" Krystal menyodorkan camilan-camilan yang tertangkup kedua tangannya pada Kyungsoo. "Dokter tidak melarangmu untuk makan ini, kan?"
Kyungsoo menggeleng sekali, "A—aniyo, Nuna." Sesuai saran Min Seok, Kyungsoo sedang berusaha semaksimal mungkin untuk melatih sendi dan ototnya.
"Pelan, pelan-pelan saja. Nah, ya. Hampir, Kyungsoo-ya, hampir." Berikut tentu saja seruan heboh Baekhyun. "Kalau bisa, akan kukerjakan semua PRmu."
Jadi, Kyungsoo pun berhasil mengambil satu keping biskuit menggunakan tangan kanannya—meski harus sangat lama dan dengan iringan aba-aba Baekhyun.
"Hyung, ha—harus kerjakan PRku, semua—semuanya." Kyungsoo lantas mengangkat kedua alisnya sambil mengunyah segigitan biskuit. "Akan kuce—ritakan pada Min Seok Hyung."
Ya, Min Seok pasti akan sangat senang mendengar perkembangannya. Kyungsoo pikir begitu.
"Good job, Kyungsoo-ya!" Chae Young menjerit dan sudah muncul didepan Kyungsoo dengan segelas lemon squash. "Pasti kau haus setelah sesi terapi berjam-jam tadi. Ini kecut, sih, tapi lebih baik kecut dari pada terlalu manis, kan?"
Kyungsoo mengangguk, setuju. "Goma—wo, Nuna." Terkecuali, Kyungsoo tidak bisa asal lagi menerima sodoran yang diberikan padanya.
Gelas berisi air limun ini terlalu berat, Kyungsoo hanya belum yakin dapat memegangnya dengan benar. Toh, tangannya masih tidak stabil, masih gemetar. Jadi, Kyungsoo hanya akan menyeruput sedikit sekadar untuk membasahi kerongkongan yang terasa sangat kering ini. Seolah ia baru saja terdampar di padang pasir.
"Nah, ayo, biar Hyung bantu pindah ke ranjang." Chanyeol terburu menginterupsi sebelum orang-orang ini semakin merecoki adiknya. "Jongin-a, ayo."
Jongin mengerti isyarat Chanyeol. Jadi, dia segera mencekal lengan kiri Kyungsoo, sementara Chanyeol mencekal lengan kanan Kyungsoo. Dalam hitungan ketiga, keduanya sudah memapah langkah Kyungsoo agar berdiri dari kursi roda dan setengah mengangkat beban tubuh Kyungsoo agar mulai terduduk di ranjangnya. Akhirnya, Kyungsoo bisa merebahkan punggungnya.
"Bobotmu semakin ringan saja." Jongin berucap setelah menyelimuti Kyungsoo sampai sebatas dada. "Sepulang dari sini, aku tidak mau tahu, kau harus menambah porsi makanmu, Kyung-a."
Kyungsoo tersenyum, sekarang sudut-sudut bibirnya jauh lebih mudah ditarik. Ia lalu memandangi orang-orang yang sedang mengelilingi ranjangnya. Memang belum lengkap, karena tidak ada Ayahnya, tidak ada Kakek, Pamannya dan Bibinya, Sehun dan Eunha, juga Jin Il dan Yun Mi. Kyungsoo tahu keluarganya itu sedang dalam perjalanan kemari.
Tapi, dengan adanya Chanyeol, Jongin, dan Baekhyun sebagai kakak-kakak yang sudah menghabiskan belasan tahun hidup dengannya adalah yang terbaik bagi Kyungsoo. Terlebih, ada Chae Young dan Krystal disini—Kyungsoo tidak tahu bagaimana cara mereka bisa seakrab ini dalam waktu sesingkat ini—dia seolah merasakan sensasi punya kakak perempuan.
"Kalau aku se—sembuh, aku akan traktir ka—kalian."
Setelah kalimat Kyungsoo barusan, semua orang disini tidak bisa tidak menertawainya.
-ooo-
Kris memang tidak memberi kabar pada Yoona bahwa ia akan mampir ke kantor hari ini.
Jika bukan Baekhyun yang terus-terusan memaksanya untuk mengecek keadaan kantor, Kris tentu akan lebih memilih untuk mendampingi Kyungsoo di kamarnya.
Ketika pintu lift terbuka, beberapa karyawan sudah menyambutnya dengan tatapan terkejut, tapi mereka buru-buru membungkuk padanya. Kris lantas berjalan menuju ruangannya, tentu ada banyak sapaan yang mengiringi perjalanannya hingga ia sampai di tempat Yoona.
"Sa—sajang-nim."
Kris tersenyum sumringah, ini pertama kalinya ia memamerkan senyumnya begitu lama. "Ah, ya. Tolong antarkan berkas-berkas pemasukan dan pengeluaran perusahaan, daftar pemegang saham tahun ini, dokumen dari para agen tambang, dan grafik penjualan produk ke ruanganku. Sekalian, bilang pada Jong Dae untuk ikut datang ke ruanganku." Setelah memastikan Yoona mengerti titahnya, Kris pun mulai membuka pintu ruangannya.
Lembab. Pengap. Sudah tiga minggu tak terjamah—debu-debu halus bertebaran disini.
Kris menghampiri singgasananya, duduk disana sambil menyilangkan kaki. Ketika tatapannya teralih pada pemandangan kota dibelakang sana, senyum kembali terpancar dari wajahnya. Ia merasa sangat percaya diri sekarang, semua membaik, semua baik-baik saja. Jadi, Kris membalik kursinya menghadap meja—sekaligus menghadap pada bingkai foto Violet disana.
"Annyeong, istriku." Kris menyentuh pelan wajah cantik dalam foto tersebut, lantas mulai mengelusnya. "Terima kasih sudah memberiku kesempatan. Terima kasih sudah memercayaiku. Untuk kesekian kali,"
Kali ini, senyum yang terukir adalah senyum getir.
"Seandainya, kau masih bersama kami, mungkin tidak akan ada mimpi seburuk ini."
Namun, Kris tidak bisa melanjutkan monolognya karena Jong Dae dan Yoona sudah berada didalam ruangannya.
"Senang sekali Anda sudah kembali ke kantor, Sajang-nim." Jong Dae berbasa-basi setelah membungkuk sekitar lima detik pada Kris. "Apakah Tuan Muda Kyungsoo sudah sadar? Apakah sekarang dia baik-baik saja?"
Kris mengangguk dan mengisyaratkan keduanya untuk mendekat padanya. "Ya. Dia sudah sadar dan baik-baik saja, hanya butuh pemulihan sedikit."
Jong Dae turut membalas senyum Kris dengan senang hati. Bagaimanapun, sekembalinya Kris disini membuatnya tak perlu mencari alasan untuk rekan-rekannya yang selalu menanyakan gaji mereka. Sementara Yoona mengangsurkan setumpuk map di meja Kris, lantas memilah-milahnya lagi untuk disendirikan sesuai permintaan Kris tadi.
"Map hijau ini laporan keuangan perusahaan, map merah adalah daftar pemegang saham tahun ini, map kuning berisi dokumen agen-agen tambang, dan map biru berisi grafik penjualan produk. Silahkan, Sajang-nim."
Kris memang harus memuji kinerja dua orang kepercayaannya ini.
"Ya, nanti akan kuperiksa. Gomawo, Yoona-ssi." Kris tersenyum pada Yoona, tapi pipi gadis itu malah merona. Beruntung, tidak ada yang menyadari semu-semu kemerahan di wajahnya. "Oh, Jong Dae-ssi. Karena gaji karyawan mundur, aku ingin data alamat rumah mereka. Setelah itu, pergilah ke toko buah dan pesankan parcel buah-buahan untuk dikirim ke rumah mereka sebagai permintaan maafku. Oh, jangan lupa alamatmu juga, Jong Dae-ssi."
Jong Dae mengangguk sekali, "Baik, Sajang-nim."
"Setelah ini, bantu aku menyortir dana untuk gaji karyawan dan keperluan perusahaan."
Jong Dae lagi-lagi mengangguk, "Kalau begitu, saya akan mempersiapkannya lebih dulu,"
Kris setuju sehingga Jong Dae pergi dari ruangan ini setelah membungkukkan badannya. Tersisa Yoona dengan jantung berdentumnya. Ia tidak bohong bahwa melihat Kris secara langsung setelah sekian lama membuat darahnya berdesir.
"Yoona-ssi,"