Terlihat seorang gadis berambut pirang sedang menatap kosong kolam yang di atasnya terdapat beberapa tanaman tumbuh. Gadis itu terlihat sedang frustasi dan tidak memiliki semangat, seperti banyak sekali hal yang ia pikirkan hingga menjadi seperti ini. Selang 5 menit terdengar suara teriakan yang cukup keras, suara gadis itu. Dia meluapkan segala pikirannya dengan berteriak sekencang mungkin. Beruntung ini sudah waktunya SMA Bakti Kencana untuk pulang, tepatnya sudah 30 menit yang lalu. Gadis itu memang selalu pergi ke taman belakang sekolah ketika dia merasa sangat kacau.
“Silva…” panggil salah satu siswa SMA Bakti Kencana. Gadis yang bernama Silva itu dengan malas-malasan menoleh dan mengangkat alisnya pertanda dia bertanya “ada apa?”
“Are you okay?” tanya siswa itu lagi.
Silva tersenyum tipis. “I’m fine.”
Tiffany menghela nafas panjang, “Sil, kalau lo butuh tempat berbagi, ada gue disini,” Tiffany menatap Silva dengan prihatin. “Jangan dipendem sendirian Silva, gue tahu yang lo hadapi itu berat. Walaupun gue nggak tau apa itu, tapi gue yakin semua orang itu punya titik lelahnya, termasuk juga lo. Jadi gue mohon, jangan nyiksa diri dengan mendem semua ini sendirian.”
Silva mendengarkannya dengan air mata yang jatuh begitu saja mengenai pipi chubby milik Silva. Dengan sigap Silva langsung menghapusnya dan tersenyum ke arah Tiffany, kemudian memeluk erat Tiffany.
Kalaupun gue cerita sama lo, apa lo akan nerima semua ini Tifa? Gue rasa lo udah jatuh cinta sama dia, dan gue rasa lo akan menjauh kalau tahu yang sebenarnya dan gue nggak bakalan itu terjadi, batin Silva.
***
Dengan langkah gontai Silva memasuki rumah berlantai 2 dengan cat dominan berwarna cream. Silva tersenyum kecut tidak melihat siapapun di rumah. Sudah biasa baginya, walaupun dulu rumah itu selalu diisi dengan canda tawa yang hangat, tukar cerita apa yang terjadi dalam seharian itu, dan apapun yang membuat keluarganya menjadi seperti surga dunia bagi Silva. Namun semenjak adiknya tiada, semua itu lenyap bagai ditelan bumi. Aletta Dasilva Kamelia, anak pertama dari dua bersaudara. Dia memiliki adik perempuan yang hanya terpaut 3 tahun dengannya, namanya Michelle Angela Kamelia atau lebih sering dipanggil Ichelle.
Ketika Silva hendak menuju ke kamar, langkahnya terhenti melihat foto Michelle yang berada di ruang keluarga. Michelle terlihat sangat cantik menggunakan dress berwarna putih selutut dan rambut yang dibiarkan tergerai. Tangan Silva tergerak untuk mengambilnya, lalu ia dekap erat-erat. Silva sangat merindukan adiknya itu.
Chelle, kakak kangen. Kamu baik-baik ya disana, jangan sedih, ada kakak yang bakal buat kamu bahagia walaupun sekarang kita udah jauh. Silva tersenyum dan meletakkan kembali foto Michelle pada tempatnya.
Silva kembali melangkahkan kaki menuju kamarnya yang berada di lantai 2, kamar yang dominan berwarna monokrom dan tidak banyak hiasan yang menempel pada dinding. Hanya ada walldecor bertuliskan namanya dan nama adiknya.
Gadis itu menghempaskan diri di kasur, dia sangat lelah hari ini. Semuanya serba menguras tenaga hari ini. Apalagi dengan datangnya sosok dia yang selama ini Silva tunggu, namun juga Silva memiliki sedikit rasa benci dan kecewa kepadanya.
Flashback On
Kriingggggg
Kringgggggg
Kringgggg
Gadis itu dengan malas-malasan mematikan alarm dan menengok pukul berapa sekarang. “06:35. Oh masih pagi,” gadis itu menguap lebar dan terkejut “whattt?! Udah setengah 7 lebih, duh telat ini,” dengan secepat kilat gadis itu bangun langsung membereskan tempat tidur dan mandi serta siap-siap untuk pergi ke sekolah.
Setelah selesai Silva langsung menuruni anak tangga dengan tergesa-gesa dan langsung berangkat, tidak sempat sarapan karena waktu sudah menunjukkan pukul 06:50. Jarak rumah dan sekolah Silva lumayan jauh sehingga membutuhkan waktu yang cukup lama, ditambah lagi dia mengendarai mobil, sudah bisa dipastikan dia telat. Silva sudah berusaha secepat mungkin untuk sampai ke sekolah, tapi percuma saja. Jalanan yang ia lewati sangatlah ramai, hingga mau tidak mau Silva harus mengikuti arus kemacetan itu.
Setelah lama mengikuti arus kemacetan, Silva akhirnya sudah sampai pada parkiran SMA Bakti Kencana. Silva sempat melirik jam, sekarang sudah pukul 07:20. Dengan langkah tergesa-gesa dia langsung menuju kelasnya, XI MIPA 3. Ketika Silva sampai kelas, betapa beruntungnya dia karena kelasnya tidak ada guru.
“Loh? Ini emang nggak ada guru apa gurunya lagi keluar?” tanyanya.
“Guru-guru lagi pada rapat,” jawab salah satu teman sekelasnya, Bella.
Silva mengendikkan bahunya, “oh pantes tadi nggak ada guru yang jaga di depan.”
Silva melangkahkan kaki ke mejanya, dia satu meja dengan Tiffany. Saat melihat Tiffany sibuk dengan gadget, Silva memiliki rencana untuk mengejutkannya.
“Woyyy!” seru Silva dengan menepuk bahu Tiffany.
Tiffany yang fokus dengan gadgetnya itupun terkejut dan spontan menghela nafas panjang untuk menetralkan rasa terkejutnya. Melihat itu, Silva terkekeh kemudian duduk di tempat duduknya.
“Tumben jam segini baru berangkat? Kesiangan lo?” tanya Tiffany. Silva hanya memberikan senyum untuk jawabannya.
“Lagi ngapain sih lo?” tanya Silva, “sampai kaget kaya gitu waktu gue panggil.”
“Ya kagetlah orang lagi fokus lo tepuk bahunya, siapa yang nggak kaget?!” jawab Tiffany dengan nada kesal.
Silva tertawa dan mengangkat dua jari tangannya membentuk huruf “V” tanda ingin berdamai. Tiffany yang melihat itu hanya memutar bolanya, malas.
“Eh serius, lo lagi ngapain kok fokus banget ama HP?” tanya Silva lagi.
“Ini, katanya ada anak baru. Pindahan dari luar negeri, dari Melbourne gitu katanya,” Tiffany menunjukkan HP nya kepada Silva. “Anaknya ini, Kevin namanya. Dia cakep ya Sil,” ucap Tiffany sambil tersenyum lebar.
Silva melihat foto yang ditunjukkan oleh Tiffany terkejut bukan main, dia kembali dan bersekolah disini? Silva berharap, Tiffany salah informasi dan itu tidak akan terjadi.
“Heh Sil,” ucap Tiffany dengan menggoyangkan telapak tangannya di depan muka Silva. “Lo kenapa? Cakep kan dia? Apa jangan-jangan lo naksir dia juga?” sarkas Tiffany.
Silva segera sadar dari lamunannya dan tersenyum tipis, “iya cakep, tapi gue nggak…” ucapan Silva terhenti ketika ada guru datang ke kelas dan diikuti seorang murid asing dibelakangnya. Tidak tidak, itu memang murid asing bagi orang lain, tapi tidak bagi Silva.
“Jadi dia benar kembali? Jangan-jangan dia satu kelas sama gue. Enggak, nggak mungkin.” Ucap Silva dengan menggeleng-gelengkan kepalanya.