Mengingat kenangan siang tadi saat bertemu dengan Sora, Devi mendadak merinding.
“Benar kan kata Kakek?? Sora itu memang pria terbaik buat kamu, Dev!”
Di sisi lain, Kakek Devi tidak berhenti membanggakan Sora dan membuat Devi semakin merinding saja.
“Cukup, Kek!” Devi mendadak berdiri dari duduknya. “Aku capek sekali hari ini. aku mau istirahat.”
“Apa kamu malu, Dev?”
Tanpa melihat ke belakang pun, Devi tahu Kakeknya bertanya dengan wajah sumringah seolah Devi sudah menerima perjodohannya dengan Sora. Devi terus berjalan menaiki tangga rumahnya menuju ke kamarnya. Devi mengepalkan tangannya sembari membatin. Jangan harap, Kek! Aku enggak akan pernah menerima perjodohan itu! Pria itu enggak akan pernah jadi suamiku!
Sebulan kemudian.
Selama sebulan, Kakek Devi berusaha membuatkan janji temu untuk Devi agar bisa bertemu dengan Sora dan saling mengenal satu sama lain.
Tapi Devi adalah Devi.
Ketika tekadnya sudah bulat, Devi akan melawan sekuat mungkin. Dan kali ini yang Devi gunakan sebagai senjatanya untuk melawan Kakeknya adalah pekerjaannya.
Semenjak tim Devi-tim 1 berhasil menangkap pembunujh berantai Rian, tim Devi banyak mendapatkan kasus-kasus sulit. Beberapa kasus di antaranya adalah kasus pembunuhan yang mana dalam penyelidikannya menguras waktu dan tenaga Devi bersama dengan timnya.
Kesempatan itu digunakan dengan baik oleh Devi. Kadang Devi pulang larut malam dan berangkat sangat pagi. Kadang juga, Devi harus menginap beberapa hari di kantornya karena sedang dalam penyelidikan penting. Dan tentu saja ketika sedang sibuk, Devi mengabaikan semua pesan dan panggilan dari Kakeknya terutama yang berhubungan dengan perjodohannya dengan Sora.
Dan cara itu berhasil selama sebulan.
“Bibi, mana Kakek?” Setelah sebulan selalu sibuk dengan pekerjaannya, Devi yang pulang ke rumah lebih awal dari biasanya, tidak menemukan Kakeknya di rumah dan bertanya pada bibi yang mengurus dapur rumahnya.
“Loh Mbak Devi belum tahu?”
Devi mengerutkan keningnya melihat raut wajah bibi yang langsung mengubah ekspresinya ketika mendengar pertanyaan darinya. “Tahu apa, Bi?”
“Tuan masuk rumah sakit kemarin. Tuan mendadak pingsan dan langsung dilarikan ke rumah sakit. Kok Mbak Devi enggak tahu? Pak Cahya harusnya sudah ngasih kabar ke Mbak kan?”
“Hah? Yang bener, Bi?” Devi kaget bukan main, sampai-sampai rasanya jantung Devi serasa mau melompat keluar dari dalam tubuhnya.
“Beneran, Mbak.”
Devi ingat semalam memang ada beberapa panggilan masuk dari Pak Cahya-asisten Kakeknya. Devi mengira panggilan itu dilakukan atas suruhan Kakeknya karena sudah selama sebulan ini Devi terus berusaha dengan keras menghindari Kakeknya. Devi sama sekali tidak mengira panggilan itu adalah panggilan darurat yang harusnya diterimanya karena berkaitan dengan Kakeknya.
“Kakek di rumah sakit mana, Bi? Rumah sakit langganannya kan?” Devi yang tadinya berniat untuk istirahat, langsung bersiap untuk pergi lagi.