Paginya, begitu tiba di kantor kepolisian, Devi bersama dengan tiga rekannya: Aris, Brian dan Aditya, lagi-lagi langsung mendapatkan panggilan. Unit lalu lintas mengabari jika kecelakaan yang hampir sama dengan kecelakaan korban Iwan sebelumnya.
“Lagi?” Seperti biasa Devi yang mengemudi dengan cara sedikit gila, tiba lebih dulu di TKP. Kening Devi mengerut karena dalam seminggu sudah ada dua korban kecelakaan yang berasal dari perusahaan Sora-suaminya.
“Ya, Bu. Korban bernama Umar, umur 30 tahun. Bekerja di PT. Jaya Abadi. Itulah data yang kami dapatkan saat memeriksa korban tadi.”
“Trus gimana korban? Dia selamat?” tanya Devi.
“Ya, dalam perjalanan ke rumah sakit. Tidak seperti kecelakaan sebelumnya, korban sempat sadarkan diri dan memberi keterangan pada kami. Dia bilang sempat berusaha menghindari bahaya yang lebih serius. Korban juga bilang berusaha mengerem tapi remnya tidak berfungsi.” Polisi dari unit lalu lintas menjelaskan pada Devi.
“Saksi. Apa ada saksi mata?” tanya Devi lagi.
“Saksi mata memberi penjelasan bahwa korban mengantuk.”
“Minta mobilnya dibawa ke unit kriminal untuk diperiksa.” Devi memberikan perintahnya.
“Baik, Bu.”
Devi berjongkok di jalanan dan memperhatikan bekas ban mobil dari korban Umar. Karena remnya tak berfungsi, bekas gesekan ban dengan aspal tak terlihat. Tapi ada pola seperti zig zag terlihat di aspal, hal itu menandakan korban berusaha dengan keras untuk mencari alternatif agar tabrakannya tidak membuatnya mengalami kematian.
Apa ini? Kurang dari seminggu ada dua kecelakaan pekerja di perusaahaan Sora. Aku merasa ada sesuatu yang sedang terjadi. Haruskah aku bertanya pada Sora?
Devi menggaruk kepalanya menimbang-nimbang tindakan apa yang harus diambilnya setelah ini.
“Dev, gimana?”
Devi mendengar suara Aris dan benar saja ketika menoleh Devi melihat Aris-ketua timnya bersama dengan Aditya dan Brian tiba di TKP.
“Korban masih selamat. Tapi … ada yang menggangguku, Pak.”
“Apa?” tanya Aris mendekat pada Devi.
“Korbannya lagi-lagi karyawan di perusahaan Sora.”
“Heh? Yang benar?” Aris memasang wajah terkejut ketika mendengar jawaban Devi.
“Ya, Pak.”
“Apa mungkin ada sesuatu yang terjadi di perusahaan suamimu, Dev?” Aris bertanya dengan merendahkan suaranya.
“Bisa jadi.” Devi bangkit dari jongkoknya, menggaruk kepalanya dan memanggil Brian yang diberikannya tugas dua hari yang lalu untuk memeriksa darah dari korban Iwan. “Brian!”
“Ya, Mbak.”
“Tugas yang aku minta soal darah korban Iwan, gimana?”
“Ada kandungan obat tidur di dalam darahnya, Mbak. Kandungan obat tidurnya cukup tinggi.”
“Gimana dengan tim forensik? Apa mereka sudah selesai memeriksa mobil Iwan?” tanya Devi.
“Belum selesai, Mbak. Mungkin hari ini atau besok, hasilnya keluar.”
Devi menggaruk kepalanya lagi berusaha memikirkan sesuatu. Aku harus memeriksanya. Tapi …. Wajah Sora muncul dalam kepala Devi. Setelah hampir setahun ini, beberapa waktu lalu adalah pertama kalinya Sora menunjukkan wajah lelahnya, yang artinya jika tidak benar-benar terpaksa, Sora tidak akan memberi penjelasan apapun pada Devi mengenai masalah yang mungkin sedang dihadapinya.
Mungkin … aku bisa memeriksanya dari sisi lain dulu. Setelah bukti kuat kutemukan, Sora pasti enggak bisa mengelak jika aku bertanya.
“Apa rencanamu, Dev? Apa kamu akan langsung bertanya pada Sora-suamimu?” tanya Aris.