"Kasih, ayo naik!"
Aku menggeleng sambil memeluk tangga yang dibuat oleh Bapak agar memudahkan kami naik ke rumah pohon. Sudah lama rumah pohon itu dibuat, namun belum pernah aku naik ke atas. Alasannya ialah aku takut ketinggian. Pernah aku mencoba, namun baru 3 anak tangga yang kulewati, aku sudah menangis.
"Diam disitu! Mbak lagi coba gambar kamu dari atas."
"Buat apa mbak?"
"Buat kenang-kenangan."
Tiba-tiba saja aku merasakan tubuhku digoyang-goyangkan. Awalnya pelan, namun lama-lama goyangan itu makin kencang. "Hei, bangun!" Aku langsung membuka mata saat mendengar suara Ibu. Tidak tahu kenapa, aku langsung memeluk ibu sambil menangis. Dengan lembut, Ibu mengusap-ngusap puncak kepalaku sambil berucap. "Ibu disini."
"Bu, 1 bulan terakhir ini, Kasih sering mimpiin mbak. Apa mbak lagi mikirin Kasih?"
"Ini sudah hampir 1 tahun, Bu. Kasih kangen sama mbak. Sekarang mbak dimana pun Kasih nggak tahu. Kalau ada sesuatu yang terjadi sama mbak gimana? Mbak sendirian, Bu."
Ibu tak kunjung membuka suara. Selalu saja begini saat aku membahas tentang kepergian mbak. Ibu selalu diam.
Masih dengan sesenggukan, aku melepas pelukanku. Tak lupa menghapus air mata yang sudah membanjiri pipi. "Kenapa setiap Kasih bahas soal mbak, Ibu cuma diam? Apa kepergian mbak ada hubungannya dengan Ibu?"
"Cukup!!"
Aku terkejut mendengar Ibu berteriak dengan wajah yang merah meski ini bukan kali pertama Ibu bereaksi seperti ini. "Kenapa, Bu? Apa ada sesuatu yang Kasih nggak tahu?"