Sudah 1 jam lebih aku duduk ditribun sekolah. Sore hari ini matahari masih begitu panas hingga sesekali aku bergeming karena seseorang yang kutunggu tak kunjung datang. Aku tidak tahu apa saja yang cowok itu lakukan hingga aku harus menunggu lama sekali.
Karena mulai kesal, aku pun berdiri dan berjalan mendekati kamar mandi yang tidak jauh dari tribun. Satu-satunya cara efektif untuk memastikan apakah cowok itu masih di dalam adalah masuk ke dalam. Sebab, aku sudah meneriaki namanya tapi tak kunjung ada jawaban. Melihat situasi yang sepi aku pun masuk ke dalam kamar mandi laki-laki dengan hati-hati.
Saat aku mengendap memasuki kamar mandi yang begitu pesing, munculah cowok dengan rasa tidak bersalahnya hingga mengagetkanku. Refleks aku teriak dengan suara melengkingku itu. Dengan tangan berototnya Genta menutup mulutku. "Suara lo jelek. Diem," ucap Genta yang tak kunjung melepas tangannya.
Aku membulatkan mata saat menyadari tangan yang membungkam mulutku adalah tangan kiri Genta. Lantas langsung kulepas tangan itu dari bibirku dan buru-buru membersihkannya di depan wastafel.
Lagi-lagi dengan tidak merasa bersalahnya Genta menertawaiku sambil bersandar diwastafel sebelahku. "Udah gue bersihin pakai sabun kali. Lagian lo, sih, teriak. Kan, harusnya gue yang kaget."
"Bilang aja kalau emang sengaja."
"Lagian ngapain lo masuk ke kamar mandi cowok?"
Aku mengelap bibirku dengan tisu lalu mengarahkan tubuhku padanya. Tak lupa menatapnya dengan tatapan tajam. "Kamu kira nunggu 1 jam lebih enggak capek? Ditambah sinar matahari yang panas. Kulit aku bisa gosong nanti."
Untuk ketiga kalinya Genta seperti tidak merasa bersalah lagi. Dia berjalan keluar dari kamar mandi meninggalkanku. Ucapanku seperti tidak berdampak sama sekali padanya. Memang tidak punya hati.
Setelah menginjak-nginjak lantai berkali-kali aku pun mengejarnya. Menyamakan langkah kami tapi masih dengan raut wajah kesal. "Kan, gue enggak nyuruh lo nunggu disitu," kata Genta kala akhirnya sadar aku berjalan disampingnya.
Jika dipikir-pikir ucapan Genta ada benarnya. Mengapa aku tidak mencari tempat yang jauh dari jangkauan sinar matahari. Tapi tetap saja, menunggu 1 jam lebih sangat membosankan. Pokoknya tetap Genta yang salah.
Saat di parkiran aku melihat Ananta yang sedang bersiap untuk pulang dengan motor desain retro yang sepertinya akan romantis jika untuk berboncengan. "Hai, Ananta. Kamu mau pulang?"
Ananta terlihat kaget. Ekspresi kagetnya itu sangatlah lucu hingga membuatku tertawa kecil. "Maaf udah buat kaget."
"Santai aja. Lo mau bareng?" Untuk kedua kalinya aku ditawari tumpangan oleh Ananta. Namun sayang, kali ini aku juga tidak bisa menerima tawarannya itu.
"Enggak. Lain kali aja."