Lagi-lagi Ananta menyelematkanku dan Keke yang sedang mencari bangku kosong. Kali ini Ananta sendiri dengan sepiring nasi campur. Kami bertiga pun makan bersama tanpa ada topik pembicaraan.
"Eh, gue baru sadar," ucap Keke menghilangkan keheningan diantara kami.
Aku dan Ananta hanya menatap gadis itu tanpa bertanya. Melihat tatapanku dan Ananta, sepertinya Keke paham apa yang kami inginkan. "Kita ini duduk dibangku yang salah," kata Keke dengan wajah takutnya.
"Udah tenang. Kan, gue yang ngajak kalian duduk bareng disini. Entar kalau Genta marah, biar gue yang hadapin." Yang awalnya aku tidak paham maksud Keke, kini menjadi paham karena ucapan Ananta.
Dengan adanya Ananta, Keke pun merasa aman. Gadis itu kembali melahap baksonya yang tersisa.
"Ini, kan, jam istirahat. Kok Genta enggak ada disini? Bukannya tadi dia keluar duluan, yah, Ke," kataku yang entah kenapa ingin tahu keberadaan Genta sekarang.
"Mana gue tahu, Kasih. Gue bukan emaknya. Lo pingin Genta dateng terus marahin kita?"
"Bukannya gitu. Aku cuma pingin tahu kalau enggak di kantin dia dimana."
"Biasanya Genta suka tidur di atap sekolah. Enggak tahu kenapa tuh anak suka banget disitu," kata Keke yang kemudian memasukkan satu buah pentol berukuran cukup besar ke dalam mulutnya. Aku yang melihat hanya memberi wajah heran. Teman sekelasku itu sangat suka sekali dengan pentol. Alasan setiap hari istirahat aku beli bakso juga karenanya. Benar sih, kata Keke jika bakso kantin sangat enak dan murah. Lumayan, pengeluaran untuk uang jajanku tidak begitu banyak.
"Besok lagi kalau kalian enggak dapet bangku kosong, duduk aja dibangku ini."
"Ogah!! Gue enggak mau berurusan sama Genta," ucap Keke tegas. Gadis itu menarik tisu ditengah meja dan membersihkan mulutnya. Keke memang sangat tidak ingin berurusan dengan Genta. Gadis itu selalu berusaha untuk menjauhi semua yang berhubungan dengan Genta. Katanya Genta itu malapetaka. Karena itu harus ia jauhi.
"Kalau enggak ada yang berani buat lawan apa yang dia larang. Genta bakal terus-terusan seenaknya sendiri. Kadang gue juga kesel sama dia. Sukanya ngelakuin apapun yang dia mau tanpa mikirin orang lain. Egois itu namanya," ucap Ananta terlihat raut kesal diwajahnya.
Ucapan Ananta memang ada benarnya. Tipikal orang seperti Genta itu bukannya harus dihindari tapi harus dilawan biar sadar. Karena kalau dibiarin bukannya berhenti tapi makin ngelunjak. Bisa-bisa nanti ada larangan; semua dilarangan menginjakkan kaki di kantin atau parahnya lagi larangan enggak boleh berada dalam jarak kurang dari 1 meter dengan Genta. Larangan kedua sangat berbahaya untukku.
"Asal kalian tahu aja, sebenarnya Genta tuh butuh teman. Cuma dia malu-malu kucing," tambah Ananta.
"Lo kan dulu temannya Genta. Terus sekarang kenapa enggak keliatan deket lagi. Ada masalah?"
Pertanyaan Keke membuat Ananta tiba-tiba pamit balik ke kelas duluan. Bisa dilihat dari raut wajah Ananta jika cowok itu tidak suka dengan apa yang Keke tanyakan. Dengan reaksi Ananta yang seperti itu membuatku yakin jika ada sesuatu antara kedua cowok itu.
Sepanjang jalan dari kantin hingga duduk di dalam kelas, Keke tak berhentinya membahas tentang reaksi Ananta tadi. Seolah Ananta menjadi topik yang baik untuk dibicarakan bersamaku. Meski awalnya aku tidak tertarik, namun makin lama apa yang Keke ucapkan membuatku makin penasaran. Sampai-sampai aku membuka telinga lebar-lebar agar tak satu pun kata yang meleset dari pendengaranku.