Sudah 5 kali aku berusaha menghubungi Ibu. Namun tak kunjung diangkat. Biasanya jam segini Ibu sedang menonton televisi di ruang keluarga. Bisa dipastikan Ibu mendengar jika ada telepon masuk. Bahkan suara telepon rumah saja terdengar hingga ke seluruh penjuru rumah. Jika begini ada 2 kemungkinan; Ibu tidur atau Ibu sedang tidak ada di rumah.
Untuk memastikan jika Ibu sedang baik-baik saja, aku pun menghubungi Mas Bambang. Tapi hasilnya sama saja. Tidak diangkat. Saat kukirim pesan lewat whatsapp, ternyata pesan yang kukirim hanya centang satu yang menandakan jika penerima sedang tidak aktif.
Rasa khawatir mulai menyerang hingga tenggorokkan terasa kering. Nyatanya meneguk segelas air masih kurang untuk membuang rasa cemas dan takut. Meski begitu aku tetap berusaha untuk berpikir positif.
Memilih untuk mandi mungkin bisa membuatku tenang. Kebetulan sejak bangun siang hingga sore ini aku belum mengguyur tubuhku. Sepertinya itu bukanlah ide yang buruk.
Kali ini mandiku layaknya kilat. Aku ingin cepat-cepat selesai dan menjawab sebuah panggilan yang nada deringnya terdengar hingga ke kamar mandi. Kemungkinan saja itu adalah panggilan dari Ibu.
Hanya dengan handuk yang kubalutkan ke tubuh dan satu lagi kuikatkan ke rambut, aku berlari kecil untuk mengambil handphone yang tergeletak di atas kasur. Nada dering yang ketiga kalinya sudah berhenti berbunyi kala aku keluar dari kamar mandi. Ternyata itu panggilan dari Mas Bambang. Dia juga mengirim sebuah pesan menanyakan ada hal apa aku menelponnya.
"Halo, Mas," ucapku kala sambungan telepon tersambung.
"Halo. Maaf tadi Mas lagi tidur. Ada apa kamu telepon? Ada masalah?"
"Enggak. Aku cuma mau tanya soal Ibu. Soalnya tadi aku telepon sampai 5 kali tapi enggak diangkat. Aku takut Ibu kenapa-kenapa. Mas bisa nengokin Ibu di rumah? Cuma buat mastiin aja, Mas," jawabku sambil menekan tombol pengeras suara lalu meletakkannya kembali di atas kasur. Kemudian aku berjalan menuju lemari untuk mengganti baju.
"Bude Kinasih lagi di rumah Mas. Sekarang lagi buat kue sambil ngobrol sama Ibu."
Mendengar itu aku langsung lega. Pantas saja Ibu tidak mengangkat telepon dariku. Nyatanya sedang membuat kue dengan Bude Puspa.
Aku jadi ingat dulu saat masih kelas 5 SD. Kala itu aku baru saja pulang sekolah bersama mbak dan kami tidak menemukan Ibu di rumah. Sontak kami takut jika Ibu pergi meninggalkan kami. Kepergian Bapak sudah cukup membuat kami kehilangan. Lalu waktu itu kami keliling kampung meneriaki nama Ibu sambil menangis. Saat menemukan Ibu yang sedang berkebun di rumah Bude Puspa, langsung saja aku dan mbak berlari menuju pelukannya.
Kehadiran Ibu itu memang segalanya dalam hidup. Bahkan saat pulang dan mendapati Ibu sedang lelap tidur saja sudah membuat tenang. Rasanya seperti kita bisa melanjutkan hidup.
"Pikiran udah kemana-mana."
"Tenang aja. Ibumu baik-baik aja, kok. Justru kamu tuh yang buat kami di sini khawatir."
"Kasih juga baik-baik aja kok. Nanti bilangin Ibu buat telepon balik aku, yah, Mas. Sekalian titip salam buat Bude. Kasih kangen kue buatannya."
"Iya nanti Mas sampaikan. Gimana kabar misimu?"
"Belum dapat petunjuk, Mas."
"Kamu belum baca surat dari, Mas?"
Mendengar pertanyaan itu membuat aktivitas mengeringkan rambut dengan handuk terhenti. Aku berpikir cukup lama mengingat soal surat yang dimaksud Mas Bambang. Tapi makin keras untuk mengingat, makin tidak mengingat apapun.
"Surat yang Mas kasih waktu di stasiun. Waktu itu kamu suruh Mas buat taruh dikantong kecil di tas ransel kamu. Baca surat itu. Mungkin bisa membantu. Ingat Kasih. Kamu pergi ke kota bukan buat cari dunia baru. Jangan buang waktu buat nyesuain diri. Takutnya kamu lupa sama tujuanmu datang ke sana. Cepat cari mbakmu dan balik ke sini. Kota bukan tempat yang bagus buat kamu. Banyak hal yang enggak kamu tahu."
Aku hanya diam saat Mas Bambang berucap begitu. Ada benarnya juga. Sejauh ini aku hanya membuang waktu bahkan lupa akan misi yang membawaku ke mari. Sepertinya, memang sudah waktunya untuk bertindak.