"Halo, Bu."
"Halo. Kenapa baru telepon Ibu?"
"Maaf, Bu. Kasih bener-bener sibuk."
"Kalau gitu kamu balik aja. Enggak usah cari mbakmu."
"Kasih udah di sini, Bu. Mana mungkin Kasih berhenti setelah sampai sejauh ini. Bentar lagi Kasih bakal bawa mbak pulang. Ibu jaga diri, yah. Jangan khawatirin aku. Udah dulu, yah, Bu. Kasih telat ini."
Tanpa menunggu balasan dari Ibu. Aku mematikan telepon dan segera menggunakan sepatu. Setelah merasa bahwa tidak ada yang tertinggal, aku pun segera keluar dari kos dan berlari menuju gang depan.
Sampainya di sana, sebuah mobil sudah menungguku. Segera aku masuk dan memberikan senyum pada pengemudi. Senyumku pun dibalas tak kalah indahnya.
Sudah menginjak hari ke-5 aku dan Genta makin dekat. Karena ucapannya yang memintaku untuk membuatnya tertawa menandakan jika Genta sudah mulai terbuka padaku. Sejauh ini sifat nyebelin Genta makin menjadi. Setiap hari dia tidak bisa berhenti menjailiku kala aku sudah lelah bercerita panjang lebar. Dia bilang, "buat gue ketawa."
Bagaimana bisa buat Genta ketawa. Bahkan semua ceritaku yang telah diakui Keke lucu saja tak mendapat senyuman darinya. Selama aku bercerita Genta hanya menatapku datar.
"Tadi kalau lo telat 5 detik aja. Udah gue tinggal."
"Jahat banget. Aku harus jalan kaki dong."
"Lumayan, biar lo sehat. Mau coba?"
"Kamu aja. Kemana-mana pakai mobil. Sekali-sekali jalan, dong."
"Lo maunya kemana?"