Dingin, gelap, dan lembap. Aku tidak ingat apa yang terjadi. Aku merasa sangat kedinginan. Tanah yang kupijak berasa basah. Tempat ini sangat gelap. Aku merasa tempat ini sangat sempit, dengan bergerak sedikit saja aku sudah bisa menyentuh tembok. Sepertinya tempat ini sangat dalam. Aku meraba tembok tempat tersebut. Merasakan bahan tembok tersebut. Tembok tersebut terasa seperti permukaan batu. Kurasa batu-batu yang ditumpuk dan ditempel menggunakan perekat. Batu tersebut tidak beraturan, ada yang menjorok ke dalam dan ada yang keluar.
Aku mengambil kesempatan ini untuk memanjat. Aku memanjat meskipun tenagaku sangat lemas. Aku memanjat, memanjat, dan memanjat hingga akhirnya aku menemukan sebuah tali yang menggantung dari atas. Aku mencoba menarik tali tersebut, tetapi batu yang menjadi pijakan kaki kananku lepas. Keseimbanganku kacau. Aku mencari pijakan batu lagi, sementara tanganku kugantung pada tali. Aku mencoba menarik tali untuk kedua kalinya, tetapi tidak ada yang terjadi. Aku melepaskan tali tersebut dan memanjat lagi. Aku melihat sebuah cahaya yang dipantulkan oleh bulan. Aku merasa aku akan sampai pada dasar tempat ini. Tubuhku sangat lemas, mual, dan kedinginan, tetapi aku tetap memanjat seperti tubuhku bergerak sendiri tanpa kendaliku.
Aku sampai pada dasar tempat tersebut. Aku memegang kedua tanganku pada ujung tempat ini, kemudian menggantungkan kakiku kananku, dan kemudian memutar badanku supaya terjatuh. Setelah keluar dari tempat tersebut aku mencoba membangkitkan tubuhku yang sangat lemas. Aku merasa otot-otot pada tubuhku tercabik-cabik. Aku membangun layaknya sebuah mayat. Aku memegang kedua lutuku dengan kedua tanganku untuk menopang badanku, kemudian menegakkan tubuhku secara perlahan. Aku melihat ke atas langit. Bulan yang terang menerangi pohon-pohon kering yang ada di sekitarku. Aku melihat tangan hingga ujung kakiku. Sebagian kulit dan dagingku sudah membusuk. Pakaianku sudah tidak bisa dibilang pakaian karena sudah robek. Bagian tubuhku semuanya terbuka dari dada hingga ujung kaki. Aku mengelus rambutku yang sangat panjang. Kurasa aku sudah berada di tempat ini sangat lama hingga rambutku tumbuh panjang hingga menyentuh tanah. Aku meraba rambutku yang sangat kasar dan berwarna hitam.
Suara hentakan kaki banyak orang terdengar dari depan. Cahaya seperti obor menerangi satu-satunya jalan hutan tersebut. Aku tidak mengira bakal banyak orang-orang yang datang. Mereka semua adalah orang tua. Aku tidak mengingat apapun.
"Bu guru, apa yang terjadi denganmu?" Tanya seorang lelaki tua dengan obor ditangannya yang berada di barisan depan.
"Apa yang terjadi dengan badanmu?" Mereka semua bertanya-tanya tentang kondisiku, tetapi aku tidak mengerti dan mengingat apa-apa.
"Tolong tenang semuanya! Pemimpin desa menyuruh kita untuk membawanya ke desa," kata perempuan dengan kerudung di kepalanya. "Nak, kemari ikut aku. Jangan pedulikan mereka," aku mengangguk dan berjalan mengikutinya. Aku melihat ke arah belakang. Aku hanya melihat sumur.
Aku berjalan mengikuti perempuan tua berkerudung ini dengan diiringi oleh tangisan burusan gagak. Aku merasa burung gagak ini terbang dan menangis untuk seseorang. Setelah berjalan sangat lama dan jauh, akhirnya kami sampai pada sebuah desa. Perempuan tua berkerudung tadi memberiku petunjuk untuk mengunjungi sebuah rumah dengan patung gagak di ujung atapnya. Aku berjalan sendiri dengan mengikuti arahan perempuan tua berkerudung tadi. Aku tidak peduli bajuku robek-robek dan dadaku terlihat oleh orang lain. Aku berjalan dengan telanjang kaki. Aku tidak merasa kesakitan meskipun kakiku berdarah-darah dan kulitk busukku terkena hawa dingin pada malam hari. Aku sampai pada rumah dengan patung gagak pada ujung atapnya. Aku menaiki tangga kecil tersebut dan mengetuk pintuk rumah tersebut. Lonceng berbunyi dari dalam rumah tersebut. Aku tidak tahu maksudnya jadi aku langsung masuk.
Aku menutup pintu masuk tersebut lalu duduk di kursi dekat meja dengan lentera menyala di atas meja tersebut. Aku duduk selama beberapa menit hingga pada akhirnya aku melihat laki-laki remaja dengan pakaian berwarna coklat. Terdapat goresan pada mukanya yang memanjang dari jidat hingga pipi kanannya. Dia membawa sebuah pakaian, serta makanan dan minuman. Dia berjalan ke arahku dengan postur badan yang tegak.
"Tolong pakai baju dulu. Kau terlalu terbuka," kata dia sambil melihat ke arah atas dan menunjuk tempat ganti pakaian. "Dan silahkan menikmati makanan dan minuman."
Aku mengganti pakaian di tempat yang dia tunjuk. Aku kembali dengan pakaian yang dai berikan tadi. Pakaian tersebut berwarna putih seperti pakaian tidur. Aku kembali duduk dan memakan makanan yang dia berikan. Pintu masuk rumah tersebut terbuka setelah beberapa menit aku menikmati hidangan ini. Seorang perempuan tua muncul dari pintu tersebut. Dia melihat ke arahku dengan rasa kasihan. Dia tidak mempedulikan penampilanku yang sudah membusuk ini. Dia langsung berjalan cepat ke arahku dengan kedau tangan yang dibuka lebar seperti ingin memeluk.
"Ruele," dia berjalan dengan cepat ke arahku, tetapi diriku berkata jika dia menyentuh tubuhku akan terjadi sesuatu yang buruk. Aku langsung mundur dan meloncat dari sofa tersebut. Perempuan tua tersebut melihat ke arahku. "Aku tahu kau masih trauma dengan kejadian itu. Orang terdekatmu dibawa ke kerajaan untuk dijadikan budak."
Aku tidak mengerti apa yang dia maksud. Aku melihat ke arah perempuan tua tersebut untuk mengingat sesuatu yang tidak aku ingat. Aku terus mencoba. Leherku terasa seperti tercekik, kepalaku serasa tertancap oleh panah, dan seluruh badanku terasa kesakitan. Aku berlutut dengan tangan kanan memegang kepala dan tangan kiri memegang tubuhku. Aku ingin berteriak, tetapi suaraku tidak keluar melainkan hanya pekikan. Aku seperti ingin mati. Perempuan tua tersebut langsung melepaskan jubahnya, kemudian menyelimuti tubuhku dan memelukku.