"Jadi asumsimu itu bisa jadi benar," kata Igna yang entah itu pujian atau bukan.
"Bisa jadi, ya?" Sambil menggulingkan badanku yang berada di atas kasur ke kanan. "Kira-kira berapa persen menurutmu?"
"Tujuh puluh lima persen sepertinya. Jika itu benar berarti perang antara manusia dan penyihir bisa terjadi."
"Rute balas dendam ya? Ngomong-ngomong kenapa kau masuk ke kamar laki-laki?" Tanyaku sambil menunjuk dia yang berada di seberang dengan kasur yang berbeda.
"Pemilik penginapan tidak tahu apa jenis kelaminku karena ..., kau tahu lah."
"Kenapa tidak minta saja?"
"Sepertinya Ruele ingin sendiri," sambil memutar badan ke tembok.
"Lebih seperti kau ingin kabur dari dia."
"Apa salahnya? Dia sangat suram dan seram. Lagian juga dia bilang sendiri."
"Kenapa tidak bilang dari tadi."
Aku melihat terang rembulan yang menyinari kamar kami melalui kaca jendela. Aku menarik selimutku dan memempatkan kepalaku di atas bantal. "Selamat malam."
"Malam."
Oh ya, aku lupa memberitahu kepada kalian bahwa kami sudah berada di penginapan desa Exter ini. Setelah kemunculan anak dengan baju petani tadi, suasana menjadi semakin rumit dengan ditambah asumsiku tentang mereka yang harusnya sudah mati, tetapi tidak mati. Wanita berambut ungu tua terlihat sangat pusing dan menyuruh kami menginap di penginapan ini yang untungnya gratis. Sialnya adalah besok kami harus bertemu dia lagi. Semoga tidak ada yang melempar duri tanaman ke arah kami ataupun tombak.
Pagi sudah tiba. Aku bangun dari tempat tidur, mengusap mataku, mengisi air untuk minum, dan melihat roh api dengan rupawan perempuan, mulai dari rambut hingga kakinya yang sedang duduk di antara kasur kami. Roh api tersebut warnanya seperti warna api Igna ..., tunggu dia Igna kan? Roh api yang merasuki baju zirah hitam besar. Dia melihat ke arahku dan melambaikan tangannya.