Thorned Fate

Centrifugal
Chapter #25

21. Exter IV

"Bisakah kau menahan diri?"

"Apa yang kau lakukan tadi? Membunuh lagi?"

"Perempuan hina!"

"Apa kau tidak pernah merasa kesedihan atau bagaimana?"

"Lihatlah mereka bertiga. Membusuk. Untungnya mereka masih hidup."

Berbagai suara muncul di kepalaku. Banyak sekali suara yang muncul. Suara tersebut seperti serbuan anak panah yang ditembakkan hingga memenuhi langit-langit medan peperangan. Aku duduk di sebuah tempat duduk dengan meja bundar yang dipinggirnya terdapat enam kursi. Kursi yang berada di depanku diduduki oleh perempuan dengan rambut ungu tua serta rambut ungu kehitaman yang menutupi bahunya. barisa pertama dariku pada bagian kanan diduduki oleh laki-laki berambut abu-abu dengan kacamata pada mata kirinya serta baju zirah yang terbuat dari besi yang sangat keras dan berat. Telinga kiri dia tidak ada.

Kursi selanjutnya diduduki oleh perempuan dengan rambut berwarna hitam yang poninya terbelah dua. Terdapat tangkai tanaman yang hidup dari balik punggungnya. Dia menatapku dengan tatapan menjijikan dan kebencian.

Kursi terakhir dari sisi kananku yang dekat dengan si rambut ungu. Dia bukan manusia ataupun penyihir. Meskipun bentuk dia seperti kedua makhluk yang aku sebutkan, aku yakin dia bukan manusia. Dia perempuan dengan rambut coklat muda yang diikat dua. Bajunya seperti baju desa biasa.

Barisan kursi bagian kiri dariku kosong semua. Aku tidak tahu siapa mereka, tetapi aku merasa tanggung jawab. Apakah mungkin tiga perempuan yang menyerangku? Aku melihat si rambut ungu mengetuk meja dengan penanya. Tirai yang menutupi ruangan ini langsung terbuka. Ruangan yang tadinya sangat gelap seperti di bawah tanah, langsung berubah menjadi terang serperti berada di puncak yang dekat dengan matahari. Aku melihat banyak sekali orang yang melihat dari atas yang awalnya tertutup oleh tirai. Keramaian mulai terdengar ketika tirai tersebut dibuka.

Aku melihat banyak sekali orang termasuk Igna yang berada di antara laki-laki dengan baju putih dan coklat dan Deldora yang duduk di samping perempuan yang matanya kuning. Perempuan berambut ungu ini mengetuk lagi penanya sebanyak empat kali. Keributan yang tadinya seperti teriakan pasukan di peperangan menjadi hening seketika.

Si rambut ungu menaruh penanya. "Kamu tidak mengira ini akan menjadi pengadilan bukan?" Tanya dia dengan suara penuh kelicikan. Aku membalas dengan mulutku yang diam. "Seperti biasa, tidak pernah berbicara."

"Ehem, ehem ..., disini pengadilan akan dilakukan. Tersangka bernama Ruele melakukan kejahatan yang sangat berat. Dia membunuh tiga orang penjaga desa dengan sihirnya. Kejahatan yang dia lakukan bukan hanya masuk dalam kategori pembunuhan, tetapi penyalahgunaan penyihir. Ruele akan dihukum mati. Ada yang keberatan?" Dakwaan yang dikeluarkan oleh laki-laki berkacamata sebelah kiri dengan suara beratnya.

Tidak ada satupun yang berbicara. Aku bisa merasakan mereka semua yang tidak mengangkat suara ini tidak tahu kejadiannya atau hanya mendengar isunya saja. Mereka hanya mendengar dari pihak korban yang dimana aku juga merupakan korban juga.

"Aku keberatan," kata perempuan dengan mata berwarna kuning yang duduk di samping Deldora sambil mengangkat tangan.kirinya.

"Ada lagi?" Tanya laki-laki berkacamata sebelah kiri.

"Saya juga," kata Deldora sambil mengangkat tangan kanannya.

"Saya juga," kata Igna sambil mengangkat tangan kanannya dengan api yang berada di lubang kepala zirahnya semakin membara.

"Aku juga," kata dua orang kembar dengan rambut berponi yang menutupi mata kanannya sedangkan poni kembarannya menutupi mata kirinya. Mereka berbicara secara bersamaan.

"Lima orang yang keberatan. Sisanya? Tidak," dia beranjak dari tempat duduknya. Berjalan ke arah belakang kursi si rambut ungu sehingga dia bisa menghadap ke mereka semua. "Berarti eksekusi akan tetap dilaksanakan."

Aku menaruh kedua tanganku di atas meja. "Mereka belum memberikan alasan."

"Benar juga. Alasan kalian akan dipertimbangkan," kata laki-laki tersebut.

"TIDAK PERLU ALASAN, SUDAH JELAS KAN DIA ...," perempuan dengan tanaman berada di punggungnya membantah perkataan laki-laki berkacamata sebelah kiri.

Bantahan dia dipotong oleh bisikan perempuan yang duduk dekat rambut ungu. Entah apa yang dia bisikan, tetapi itu membuat dia diam. Diam dalam ketakutan.

"Ah, maaf, maaf tentang rekanku ini. Kalian bisa lanjutkan," kata perempuan yang berbisik pada si perempuan yang membantah tadi.

"Baiklah. Ada yang bisa memberikan alasan?" Tanya laki-laki tersebut.

"Aku ingin menanyakan kepada kalian. Kalian semua yang berada di sini maksudku. Apa kalian semua tahu kejadian asli ini?" Tanya Igna.

Lihat selengkapnya