Aku membuka salah satu tirai yang menutupi mereka. Aku bisa mencium bau busuk dari badan mereka yang berlubang dan membusuk serta berwarna hitam pucat. Igna, Deldora, dan si mata kuning melihat ke arahku.
"Apa kau bisa menyembuhkan mereka?" Tanya Igna.
Aku menjawab dia dengan menggelengkan kepala. Aku tahu aku tidak akan bisa mengembalikan atau menyembuhkan mereka yang sudah aku busukan. Kekuatanku adalah kekuatan penghancur yang berasal dari sumur yang sudah membuat sengsara satu desa.
Aku menutup tirai tersebut dan berjalan ke arah jendela. Aku melihat pemandangan yang berada di luar. Anak-anak yang bermain, penjual dan pembeli, pengrajin pakaian. Mereka terlihat sangat bahagai. Kebahagiaan tersebut akan tertelan oleh kesengsaraan yang entah akan muncul kapan. Aku bisa melihatnya. Belenggu duri yang berada di seitap tubuh mereka yang masih belum mekar dan memanjang. Negara ini sudah sangat kacau. Aku bahkan tidak heran jika semua yang ada di negara ini akan mati. Entah setelah mati kita akan bertemu lagi di Pulau Anyelir atau hilang begitu saja.
"Cari penyihir penyembuh," kataku.
Si mata kuning langsung melihat ke arahku dan menunjukan jari telunjuknya. "Benar, kita hanya harus mencari mereka. Tunggu dulu, apakah adik Fero itu penyihir penyembuh? Dia perawat disini kan?"
"Fero? Lagian perawat beda dengan dokter," respon Deldora.
"Fero itu yang bekerja di resepsionis. Kukira kalian tahu nama dia. Nama adik dia Avel."
Aku melihat ke sudut kiri ruangan ini, sementara mereka mengobrol dengan suara yang pelan. Aku merasakan ada yang memantau dari sudut sana. Aku melihat ke arah si mata kuning, kemudian berjalan ke arahnya.
"Apa kekuatan dia semacam pemantau?" Tanyaku.
Dia langsung melihat ke arahku dengan ekspresi kaget. "Ya, kau bisa lihat di sudut kiri ruangan ini," kata dia sambil menunjukan sudut ruangan. "Lebih tepatnya dia yang memantau semua yang ada disini."
"Tidak heran dia menjadi perawat," kata Igna.
Tiba-tiba seseorang mengetuk pintu ruangan ini. Igna membuka pintu. Setelah pintu dibuka ternyata itu adalah Avel. Dia meminta kita untuk keluar sebentar karena ada yang mengunjungi. Kami keluar dan berpapasan dengan para penjaga desa. Si rambut ungu dan wanita tanaman menatapku dengan tatapan kosong, sementara perempuan yang waktu itu duduk dekat si rambut ungu menarik bajuku dengan pelan. Aku berhenti dan melihat ke arah dia yang terlihat malu-malu.
"Bolehkah ..., kita ..., berbicara sebentar?" Tanya dia sambil menundukkan kepalanya.
Kukira dia orang yang seperti si mata kuning. Apakah dia waktu itu berbisik karena dia tidak mau orang lain mendengar suaranya. Jujur saja suara dia seperti lagu. Aku membawa dia ke ujung lorong tanpa sepengetahuan orang lain. Aku tahu dia tidak mau dilihat orang lain.
"Terima kasih sudah mau berbicara padaku," ucapan terima kasih dia tanpa terbata-bata seperti tadi, tetapi sangat cepat sekali bicaranya.