Aku mencoba untuk tidur, tetapi tidak bisa. Melihat Fae tertidur sangat nyenyak di sebelahku membuatku mencoba berbagai cara untuk tidur. Mulai dari memutar-mutar koin lambang gagak yang sudah berkarat, menghitung bulu mata Fae, hingga memikirkan hal-hal yang absurd. Pada akhirnya aku memutuskan untuk keluar kamar untuk menghirup udara tengah malam. Aku membuka pintu kamar dan keluar. Ketika aku ingin menutup pintu kamar, aku merasakan sesuatu yang familiar dengan penyihir yang menjadi dalang insiden menara api. Aku mengikuti apa kata firasatku. Aku berjalan ke lorong yang ada di sebelah kamar bernomor 7 dengan lentera di tangan kananku. Ketika sudah berada di sudut lorong, aku terdiam sebentar untuk menghela napas. Setelah menghela napas aku langsung melihat dengan cepat apa yang ada di balik lorong tersebut. Aku tidak melihat apa-apa. Mungkin hanya firasatku. Aku mencoba mengingat tujuan utamaku keluar kamar. Oh ya, untuk menghirup udara tengah malam. Aku kembali untuk ke daerah kamar nomor 9 yang dimana dekat dengan tangga untuk ke bawah. Aku berjalan dengan lentera yang masih tetap menyala. Ketika sudah sampai pada daerah kamar nomor 9, aku baru ingat aku lupa mengunci pintu kamar. Aku berjalan dengan cepat ke arah kamarku dan melihat Seorang figur laki-laki dengan busur silang berada di tangan kanannya yang sedang mengarah ke arah Fae yang sedang tidur.
Aku menurunkun lenteraku dan berjalan masuk. "Apa yang kau perlukan di kamarku?" Tanyaku sambil berbalik menutup pintu kamar.
Dia menunjukku dengan jari telunjuk tangan kirinya, lalu menggeser jarinya ke arah bangku yang ada di sebelah kanan ruangan tanda menyuruhku untuk duduk. Aku menuruti apa yang dia suruh. Aku berjalan perlahan dengan badan tetap menghadap ke arah laki-laki tersebut. Kemudian aku duduk sambil menaruh lenteraku di atas meja dekat bangku yang aku duduki. Aku mengamati laki-laki tersebut. Dia mengenakan baju yang dirangkap dengan rompi kulit berkerah yang dilengkapi banyak saku. Kantung bagian rompi bawah kanannya terlihat membesar seperti ada bola di dalam saku tersebut.
"Aku sudah menuruti keinginanmu, jadi tolong turunkan senjatamu," permintaanku padanya. Hatiku berdetak sangat kencang, tetapi aku tetap menjaga ekspresi tenangku.
Dia menurunkan senjatanya. "Apa kau penyihir?"
"Sudah kubilang aku bukan. Lihat aku tidak punya kekuatan apa-apa," jawabku dengan tenang.
"Bagaimana kau tahu penyihir tidak bisa melahirkan anak?"
"Bukankah itu yang tertulis di dongeng-dongeng tentang penyihir? Pertama-tama biarkan aku bertanya. Mengapa kau sangat terosebsi dengan penyihir? Kelihatannya kau bukan pemburu penyihir," kataku sambil menunjuk dia.
"Lihat ini," dia mengambil sesuatu yang bulat dari saku rompi bawah kanannya. Benda tersebut merupakan tengkorang manusia.