Tengah malam. Seseorang yang mengenakan baju serba hitam masuk ke dalam ruangan rahasia di Aula Lizard. Gaun hitam panjang, jubah bertopi, cadar, dan sebuah topi floopy. Semuanya serba hitam. Tidak ada yang tahu siapa dirinya. Jika, Lady Lavina. Tidak mungkin harus menutupi dirinya seperti itu. Apakah Minister? Tidak ada yang tahu. Yang pasti dia dapat ke ruangan rahasia dan yang paling penting bagaimana ia bisa memiliki kuncinya?
Dalam ruangan rahasia. Ia menaruh tangannya di lantai. Kemudian ….
Matahari timbul dari ufuk timur. Semua orang bersiap untuk pergi ke ruangan makan. Semua Lord dan Lady telah berkumpul, kecuali Lady Lavina. Pagi-pagi sekali ia sudah pergi ke ruangan Minister.
“Siapa? Siapa yang melakukannya!!!” sebuah vas bunga pecah.
Lady Lavina hanya terdiam melihat Minister yang telah naik pitam. Selain itu, ada juga Brother Armand yang telah menundukkan wajahnya. Kemarahan Minister berkaitan yang orang berpakaian hitam yang telah masuk ke dalam ruang rahasia.
“Kalian harus mencari tahu siapa dia. Aku sudah menunggu ratusan tahun untuk alat luar biasa itu. Sekarang semuanya hancur. Aaaaaaaaa!!!” merobohkan satu lemari buku di ruangannya.
Lady Lavina dan Brother Armand pergi menuju ke Aula Lizard. Mereka masuk ke ruangan rahasia untuk melihat apa yang terjadi. Saat masuk ke dalam, Brother Armand sangat terkejut melihat alat penghancur yang disiapkan telah hancur. Semuanya telah hancur menjadi kepingan-kepingan kecil. “Kenapa kau melihatku? Tugasmu adalah mencari tahu siapa yang melakukannya,” ucap Lady Lavina yang melihat ke arah Brother Armand.
Lady Lavina terlihat sangat santai berdiri di balkon sebuah menara paling tinggi di Fedrich School. Dirinya yang memang dari awal tidak pernah setuju dengan rencana Minister, maka tidak terlihat pusing mengurusi masalah ini. Seorang laki-laki bersepatu coklat dan kakinya sedikit pincang berjalan keluar dari Aula Minister. Masih berdiri di balkon sambil memejamkan matanya. Tangan seseorang memegang tangan Lady Lavina dan membuat Lady Lavina langsung membuka matanya dan menarik tangannya. "Siapa!?" Lady Lavina berbalik dan terkejut melihat paman Mathis ada di depannya. “Apa yang kau pikirkan?” tanya paman Mathis. Lady Lavina masih tidak menyangka bahwa paman Mathis bisa masuk ke dalam sekolah. “Bagaimana Paman bisa ke sini?”
“Untuk menemuimu. Lavina masih ada yang harus aku lakukan. Mungkin setelah ini kau tidak akan melihatku lagi. Aku berharap kau menjaga Luna.”
“Ada apa Paman? Kau harus segera keluar dari sini. Sebelum Armand menemukanmu.”
“Aku harus menyelesaikan apa yang harus aku selesaikan. Aku hanya berharap kau bisa menjaga Luna.”
“Aku pasti akan menjaganya.”
Sebelum pergi paman Mathis memberikan sebuah belati kepada Lady Lavina. Dia berharap ketika bertemu lagi dengan Lady Lavina. Belati ini dapat menjadi penghubung yang baik untuk mereka berdua. Nyatanya mereka berdua hanyalah korban dari perang ratusan tahun lalu. Dan sampai sekarang pun mereka tetaplah korban.
Di lorong yang gelap gulita terdengar suara laki-laki yang berteriak sambil berlari. Darah berceceran di lantai, setetes, setetes. Terlihat sekilas dari pantulan cahaya bulan, laki-laki itu adalah Brother Armand. Sekujur tubuhnya telah berdarah dengan luka sayatan. Brother Armand menghentikan larinya. Ia sudah tidak sanggup lagi. Sebuah rantai es melaju ke arahnya dan menusuk kedua pundaknya “Aaarrggh” Tubuh Brother Armand bersimbah darahnya sendiri. Dia bahkan tidak dapat melawan lagi, hanya dapat pasrah menanti penyelamat. “Siaapa kau? Tunjukkan dirimu,” kata Brother Armand yang terbata-bata.
Seseorang dengan jubah hitam. Orang sama saat masuk ke dalam ruangan rahasia muncul dari dalam kegelapan. “Hahahahahahahahahaha.” Tawanya. “Kenapa harus bertanya. Kau sendiri telah melihat kedua rantai es itu. Kenapa harus bertanya lagi siapa yang telah melukaimu. Hahahahahahahahahaha.”
“Lavina? Tidak mungkin. Tidak mungkin Lavina. Siapa kau sebenarnya? Lavina adalah orang yang paling dipercayai Minister. Tidak mungkin dia melakukannya.”
“Terserah.” Mencabut kedua rantai es dari tubuh Brother Armand. “Aaarrgh … aaaaaaaaahh”