Ethan tersadar dari pingsannya. Dia segera berdiri dengan pandangan masih sedikit kabur dan kepala yang masih pusing. Ethan berdiam sejenak, menenangkan dirinya sebentar. Samar-samar ia mendengar sebuah alunan melodi yang terdengar sangat asing. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya dan melanjutkan perjalanan.
Ethan terus melangkah perlahan-lahan ditemani satu lentera ditangannya. “Wuss … wuss … wuss,” suara angin. “Aww.” Mengucek matanya. Angin berhembus sangat kencang. Entah datang dari mana. “Wuss, wuss, wusss, wuss.” Lentera Ethan padam dan ia langsung berhenti dengan pandangan gelap gulita. Angin terus berderu dengan kencang membawa pasir-pasir kecil yang dapat memasuki mata. Setelah tak terdengar gemuruh angin, Ethan segera membuka matanya dan meraba-raba lentera yang ia letakkan di bawah. Sialnya, lentera tersebut telah hilang terbawa angin. Ethan menarik nafas panjang. Ia tidak dapat melihat apa pun. Sementara dia harus tetap melanjutkan perjalanannya.
Tiba-tiba sebuah obor menyala diikuti oleh obor lainnya. Menerangi jalan setapak di depan sana menuju sebuah pohon besar. Ethan terkejut melihat apa yang ada di depannya sekarang. “Jelas-jelas bukan di sini seharusnya. Apa aku terbawa angin? Tidak mungkin,” ujarnya dalam hati. Ethan mendengar suara melodi tersebut lebih kencang dari sebelumnya. Ia melangkahkan kakinya dan menariknya kembali. Ia ragu untuk maju atau tidak. Tapi, perasaan ragu itu tiada guna karena tidak ada pilihan lain. Tidak penerangan dan ia bahkan tidak tahu ada di mana sekarang. Langkah pertama masih ada keraguan dan ketakutan, langkah kedua masih ada ketakutan, langkah ketiga setelah melihat sekeliling tidak ada perasaan apa pun selain rasa penasaran. “Bagaimana bisa ada pohon sebesar ini dalam labirin?” itulah pertanyaan yang terlintas dalam benaknya. Melihat pohon itu Ethan baru sadar bahwa alunan lagu yang ia dengar berasal dari pohon itu. Semakin dekat, maka semakin jelas terdengar. Dia melanjutkan langkahnya. Semakin dekat dan dekat dan … bentuk pohon yang sama dengan yang ada di depan. Pohon yang menjadi gerbang mereka menemukan labirin ini. “Apa ini adalah pohon yang sebenarnya? Seharusnya iya. Jika begitu berarti aku berada di tempat yang benar.” Melihat pohon dari bawah ke atas.
Ethan melihat sekeliling dan tidak ada apa-pun. Dia bagaikan pemain utama dalam panggung opera. Lampu hanya menyorot padanya, dikeliling kegelapan, jalan setapak dengan obor sebagai penerang, dan pohon besar yang dapat menghasilkan alunan melodi. “Alunan ini sangat asing, tidak mungkin ibu yang menciptakannya." Ethan duduk di bawah pohon itu. Ia membuka telapak tangannya dan muncul violin miliknya. Dia mengambil violin itu dan mengatur posisi. Tangan kiri siap dengan badan violin dan tangan kanannya siap dengan busur violin. Ethan memainkan lagu yang ia ciptakan untuk Wuyi. Tanpa sadar air mata perlahan-lahan mengalir. Melewati setiap lekuk wajahnya, melewati violin, dan terus mengalir sampai menyentuh dasar.
Dari belakang, seorang wanita dengan tinggi kira-kira 168 cm, rambut keriting panjang hitam mengkilap, dengan bentuk mata double eyelids muncul dibelakang Ethan. Wanita itu tersenyum melihat Ethan yang sedang bermain violin. “Ethan” panggil wanita itu. Ethan berhenti dan melihat ke belakang. Ethan terdiam sejenak melihat wanita itu. “Ibu” panggil Ethan. Wanita itu adalah Wuyi. Guru sekaligus ibu angkat Ethan. Wanita yang paling berarti, berharga, dan sangat ia rindukan selama ini. Ethan berjalan perlahan-lahan ke arahnya. Air matanya langsung jatuh. Ethan langsung memeluk ibunya.
“Hiks, hiks, hiks, hiks, ke mana saja ibu selama ini? Aku mencari ke mana-mana.” Menatap ibunya.
“Kau sudah begitu besar, kenapa harus menangis seperti ini.” Membelai kepala Ethan.
“Bagaimana bisa ibu di sini. Di luar sana akan segera terjadi perang kembali. Mereka membutuhkan bantuan ibu.”
“Maafkan ibu meninggalkanmu.”