Saya termasuk orang yang tidak punya kartu nama, tapi tetap bisa bekerja lebih dari normal, tetap selalu bisa dicari orang, dan entah bagaimana caranya seolah-olah setiap orang bisa saja mendapatkan nomor handphone saya. Itu bukanlah hal yang terlalu menyenangkan, karena saya bukanlah pemburu peluang yang menyodor-nyodorkan diri untuk dikenal, tapi membuat saya berpikir tentang hubungan antara kartu nama dan identitas. Saya teringat pernah melakukan "perjalanan bisnis" di Jepang dan hampir selalu menahan tawa karena etiket pergaulan di Jepang sejak zaman Shogun bertambah satu: sehabis membungkukbungkuk, sodorkanlah kartu nama "hahaha! Setelah dua minggu, jumlah kartu nama orang Jepang di kantong saya ada dua ratus lebih. Dan, niscaya tiadalah saya bisa membedakan nama yang satu dengan yang lain. Bukan saja karena bagi saya semua nama itu berbunyi sama, tapi juga karena”meskipun desain kartu itu ada yang steril maupun kreatif penggarapannya, jumlah yang begitu banyak membuat setiap tanda kehilangan arti.
Di Jakarta, kartu nama seperti berarti hanya satu hal: beri saya order. Bahasa halusnya: kalau ingin bekerja sama, Anda tahu ke mana mesti menghubungi saya. Bahasa kasarnya: beri saya uang. Tentu tidak semua begitu, apalagi kalau yang memberikannya begitu cantik dan selalu tersenyum-senyum. Tepatnya, bisa juga agak lebih romantik: hubungilah saya, makanya saya kasih tahu nomor saya, hmmm .... Tapi, ini sama ajaibnya dengan jatuh cinta, yakni jarang-jarang terjadi, dan bisa saja cuma ngibul. Lebih sering dan memang begitu: kartu nama disodorkan untuk membuka peluang bisnis. Bagi bisnis mutakhir, hubungan yang baik dan menyenangkan adalah juga nilai lebih di samping yang konkret seperti uang. Nah, kartu-kartu harus menunjukkan itu. Ini membuat kartu nama kadang-kadang layak dikoleksi, seperti collector item begitu. Perancangannya bisa dihargai setara lukisan dan ongkos pembuatannya pasti mahal. Ada juga yang seperti nggak niat, cuma fotokopian sebesar KTP, berisi nama dan nomor handphone doang. Mangkus dan sangkil dan tidak berselera.
Toh kartu nama selalu sangat berguna, termasuk yang fotokopian. Di rumah saya, kartu nama yang tidak artistik ini lebih ketahuan gunanya daripada yang jungkir balik tiga dimensi. Itulah kartu nama tukang listrik, tukang ledeng, tukang kompor gas, tukang aqua, tukang jahit keliling, dan tukang asah gunting pisau. Pada suatu hari ada yang "korslet" di rumah saya ketika saya sedang di luar kota. Dalam gelap jam 1 malam, orang rumah yang tinggal sendirian bisa menelepon tukang listrik yang siap dihubungi 24 jam berkat kartu nama fotokopian itu. Dengan kata lain, ada dua fungsi kartu nama, yang teknis: artinya hanya nama, nomor, dan profesi, untuk catatan saja; dan yang berfungsi untuk menciptakan image yakni menunjukkan bagaimana dirinya ingin dilihat.