Sampai di balai desa, kursi-kursi sudah dipenuhi oleh para undangan. Tiana mengajak kedua orang tuanya duduk dikursi barisan belakang yang masih kosong.
Meli mencowel bahu Tiana, ”Itu Bang Surya. Dia keren sekali malam ini."
Tiana melayangkan pandangannya pada arah telunjuk Meli.Tampak Surya sedang menyiapkan beberapa kertas dan mengecek pengeras suara yang akan digunakan.
Meli menarik tangan Tiana untuk mendekat ke meja paling depan. Disana disediakan air mineral dan makanan kecil.Tiana mengambil beberapa kue untuk orang tuanya.
“Ehm.Terima kasih sudah datang,"suara Surya hampir membuat barang yang ada ditangan Tiana melompat. Kedatangan Surya membuat jantung Tiana terasa mau copot.
“Oh, maaf. Apa aku mengagetkanmu?” tangan Surya menggenggam tangan Tiana. Maksud hati agar makanan Tiana tidak tumpah.
“Tak apa,” jawab Tiana pelan lalu menarik tangannya dari genggaman Surya.
“Kami baru saja tiba.Ternyata sudah ramai . Apa acaranya sudah dimulai?” Meli bantu jawab saat Tiana terlihat masih syok.
“Belum. Acaranya sebentar lagi. Nah, itu pembawa acara sudah menaiki podium."
Semua mata tertuju ke depan dan menyimak rentetan acara selanjutnya.
‘’Oh, ya. Aku lupa mau kasih minuman buat ayah dan ibu,” Tiana pamit pada Surya.
“Emmm??” gumam Surya heran menatap punggung Tiana.
“ Tiana datang bersama orang tuanya. Kalau tidak, nggak bakal diizinin keluar malam. Setelah kecelakaan tempo hari membuat mereka lebih perhatian pada Tiana,” jelas Meli.
“Kecelakaan?” Tanya Surya penasaran.
“Oh, ternyata ada lagi yang perhatian sama Tiana,” senyum Meli. Ia tak kaget jika Surya menaruh perhatian pada Tiana. Siapa yang tidak menyayangi gadis manis seperti Tiana.
“Bukan begitu…. hanya tak percaya. Tiana kelihatan sehat dan berseri-berseri. Tak menyangka kalau habis sakit."
“Bang Surya nggak lihat dengan mata kepala sendiri, sih,” kata Meli sambil melahap kue cucur ditangannya.
“KAMI PERSILAHKAN WAKTU DAN TEMPAT KEPADA SAUDARA SURYA SEBAGAI PEMBINA KARANG TARUNA DESA SUKARAYA UNTUK MENYAMPAIKAN SEPATAH DUA PATAH KATA.”
Surya berlari kecil menuju podium setelah namanya disebut lewat pengeras suara. Membuka kertas yang sudah Ia siapkan untuk pidato pembukaan.
“Assalamu’alaikum, Pak Darman apa kabar?” sebuah suara datang membuat pak Darman menoleh.
“Waalaikumsalam, Pak Imran,” ucap Pak Darman lalu menyalami orang yang begitu dihormatinya.
Istri dan putri Pak Darman juga ikut menyambut Pak Imran dengan senyum ramah.
Mata Pak Imran tak lepas dari Tiana. Dalam hati mengagumi kecantikan dan kesucian yang terpancar dari wajah Tiana.