“Selesai!” Allegra Arundaya, gadis berambut sebahu itu menjatuhkan punggungnya ke sandaran kursi, sembari mengangkat kedua tangannya ke atas. Dia merenggangkan leher dan tubuhnya yang kaku.
“Udah kelar, lo?” Andriana menghampiri kubikel Alle untuk memeriksa hasil kerjanya di layar komputer. Materi content writing yang baru saja diminta, rupanya benar-benar sudah selesai. “Wih, mantul! Bangga gue punya junior macem lo,” lanjutnya, beberapa saat kemudian, sembari menepuk-nepuk lembut bahu Alle.
Alle tersenyum lebar, memperlihatkan deretan gigi putihnya yang berjejer rapi.
“Astaga! Kebangetan emang Lelaki Kutub Utara itu!”
Sontak, Alle menoleh ke asal suara. Staff paling muda yang baru bergabung enam bulan lalu itu segera menggeser kursi kerjanya mendekati si wanita berkaca mata yang baru saja kembali dari ruang kerja CEO.
“Apa lagi sih?” bisiknya penasaran.
“Proposalnya suruh ngerombak total.” Nina, wanita berkaca mata itu mendengkus kesal.
“Hah? Serius?” Sepasang alis Alle berkerut. “Bukannya tadi pagi udah ACC?”
“Itulah.” Nina melepas kaca matanya dan memijat pangkal hidungnya. “Ada perubahan di detik-detik terakhir.”
“Terus, deadline tetap besok?” Tirta, satu-satunya lelaki dalam tim kecil itu mendekat, meraih proposal di meja Nina, kemudian membuka halaman demi halaman. Tampak coretan-coretan tangan Pak Elang di sana.
Nina mengangguk lemas, yang kemudian disambut helaan napas dari Alle, Andriana, dan Tirta.
“Alamat ngamuk lagi nih bini gue.” Tirta mengacak rambutnya sendiri. “Gue janji ngajakin dia dinner malam ini. Kemarin gue lupa hari ulang tahun pernikahan kami yang ke lima gara-gara lembur.” Wajahnya tampak frustrasi, seolah akan menghadapi perang dunia ketiga setelah ini.
Tirta adalah karyawan paling senior dalam tim kecil tersebut. Dia sudah enam tahun bergabung di perusahaan ini. Tadinya, dia dan Nina adalah anggota divisi pemasaran. Namun, sejak departemen Communication & Public Relation dibentuk tiga tahun lalu, mereka berdua ditarik ke departemen ini. Sebenarnya, departemen Communication & Public Relation masih menjadi bagian dari divisi pemasaran. Hanya saja, mereka harus melakukan direct report ke CEO alias Founder.
Awalnya, departemen ini hanya dipegang oleh Tirta dan Nina. Namun, seiring perkembangan jalanjalan.com, anggota tim tersebut akhirnya bertambah. Yang semula hanya dua orang, kini menjadi lima orang : Tirta, Nina, Andriana, Riska, dan Alle. Masing-masing memiliki tanggung jawab berbeda.
Tirta, meng-handle Government Relations & Public Affair─karena jalanjalan.com memiliki banyak project yang bekerjasama dengan beberapa kementrian, salah satunya Kementerian Pariwisata. Nina meng-handle fungsi finance─karena sebagai online booking platform, jalanjalan.com juga bekerja sama dengan Bank Indonesia serta Otoritas Jasa Keuangan dalam melayani payment gateway. Riska meng-handle fungsi internal communication yang juga harus direct report ke Human Resources Departement. Sementara itu, Andriana dan Alle bertanggung jawab untuk melaksanakan fungsi Public Relation yang tugas utamanya adalah membangun brand image agar jalanjalan.com semakin dikenal pasar.
“Kenapa mukanya pada gitu amat?” tanya Riska yang baru saja kembali dari toilet. “Nggak pada siap-siap pulang?”
Refleks, Nina, Tirta, Andriana, dan Alle melirik Riska.
“Lo semua pada kenapa sih? Kayak baru aja dapat kabar buruk?” Riska terkekeh. Perempuan berambut cepak itu menuju kubikelnya dan mengemasi barang-barangnya. Dia belum tahu, kabar buruk apa yang sedang menantinya di depan.
“Emang ada kabar buruk,” seloroh Tirta.
“Apaan sih?” Riska mengerutkan kening.
“Kita lembur lagi malam ini.” Alle menjelaskan, tetapi sejurus kemudian dia menggeleng, meralat ucapannya sendiri. "Nggak cuma lembur, mungkin kita juga harus nginep di kantor."
“What? Lembur apaan lagi? Kan proposalnya udah kelar?” Wajah Riska seketika syok.
“Proposalnya harus dirombak total. Besok pagi musti kelar.”
“Ya ampun! Butuh seminggu buat nyiapin proposal itu. Terus sekarang kita disuruh bikin ulang dan besok harus kelar? Dikata kita Bandung Bondowoso apa? Bisa bangun candi dalam semalam?” Riska menggerutu. Dia mengeluarkan kembali barang-barangnya dari dalam tas.
Mendengar gerutuan para seniornya, Alle tersenyum miris. Gadis itu terpaksa harus melupakan rencananya untuk pulang ke kos lebih cepat, mandi air hangat, lalu bergelung di depan televisi, menonton drama Korea sambil memeluk sekantung besar keripik kentang. Sudah seminggu ini dia selalu pulang di atas pukul dua belas malam.
Oh no! Alle mendesah setelah merasakan sesuatu.
“Ckckckck! Wok, wok, wok!” pekik Alle tiba-tiba. Tangan kanannya terangkat dan menepuk-nepuk pipinya sendiri. Kedua bola matanya berputar dan kepalanya mendongak berulang-ulang, seperti orang yang sedang mengalami kejang. Gadis itu berusaha keras meraih pensil di mejanya, kemudian menggigitnya kuat-kuat sambil berusaha mengatur ritme napasnya yang tidak beraturan.