Tic Toc, I Love You

Santy Diliana
Chapter #2

Part 2 : Terjebak Berdua

Malam merangkak naik. Jam menunjukkan pukul sembilan. Suasana ruang rapat yang dikelilingi oleh dinding kaca itu tampak serius. Wajah-wajah kusut dalam ruangan tersebut sedang berkonsentrasi mengerjakan tugasnya masing-masing. Ada yang menatap layar laptop, ada yang membaca dokumen dan berusaha menerjemahkan hasil riset pasar, ada pula yang sibuk mencoret-coret di bukunya. Sementara itu, di atas meja, kertas-kertas dan dokumen berserak. Seolah menggambarkan betapa kacau dan ruwetnya suasana lembur dadakan malam itu.

“Nyadar nggak sih, kalau selama ini kita terlalu fokus solution of everything for everyone?” Alle menatap layar laptopnya. Sebenarnya, sejak bulan ketiga bekerja di tempat ini, dia ingin menyampaikan hal tersebut kepada rekan satu timnya. Namun, sebagai karyawan baru, dia masih ingin mengamati agar tidak dianggap lancang. Baru malam ini dia memiliki nyali untuk mengutarakannya.

“Maksud lo?” Nina mengalihkan pandangannya dari kertas di tangannya, diikuti oleh anggota tim yang lain.

“Coba baca lagi proposal yang kita buat kemarin. Strategi yang kita tawarkan tuh lebih banyak berkutat pada solusi atas segala permasalahan untuk semua pihak. Terutama terhadap tuntutan seed investor dan angel investor. Iya nggak sih? Padahal ini memerlukan banyak energi, waktu, dan biaya. Nggak efektif.” Alle menatap rekan-rekan kerjanya satu per satu. “Kita justru kurang maksimal dalam membahas strategi membangun dan menjaga hubungan publik. Sorry to say, publikasi kita masih asal-asalan.”

Nina melepas kaca matanya, kemudian melipat kedua tangannya di dada. Jika tidak mengenal karakter Alle, mungkin dia akan menganggap gadis itu sedang bersikap kurang ajar. Namun Nina tahu bahwa begitulah pembawaan Alle. Jadi, dia tidak ambil pusing. Dia justru menyadari bahwa ucapan Alle ada benarnya, “Emang sih. Gue juga menyadari soal poin solution of everything for everyone ini sebenarnya. Cuma selama ini, gue melihat, itulah tujuan awal dibentuknya departemen ini. Departemen kita memang disiapkan untuk meng-handle masalah yang mungkin timbul seiring berkembangnya perusahaan.”

“Nah, kayaknya udah saatnya kita mengubah strategi.” Alle memberi jeda sejenak untuk mengikat rambut sebahunya. “Gue rasa, sudah saatnya kita serius merencanakan strategi untuk membangun dan me-manage hubungan publik,” lanjut Alle.

“Lo ada ide?” tanya Tirta.

Alle menelan salivanya. Dia berusaha membaca ekspresi rekan-rekannya. “Boleh?” gadis itu menunjuk ke arah whiteboard di sudut ruangan.

Nina mengangguk. “Silakan.”

Alle beranjak dari tempat duduknya, meraih spidol, dan menuliskan tiga hal di sana dengan cekatan. “Brand storypurpose, dan platform. Tiga hal ini yang harus kita perhatikan dalam membangun hubungan publik. Nggak sekadar publikasi biasa.”

Alle menunjuk tulisan Brand Story dengan ujung spidolnya. “Manusia tuh suka banget dengan stories atau cerita yang berbeda atau unik. Kalian tahu campaign #AdaAqua dari brand Aqua kan?”

Riska tertawa kecil. “Siapa yang nggak tahu coba?”

Alle tersenyum dan menjentikkan jarinya. “Itu yang harus kita adaptasi. Kita pasti sepakat bahwa campaign itu berhasil menciptakan koneksi yang kuat antara brand tersebut dengan masyarakat, khususnya pelanggan. Lewat campaign itu, mereka ingin menjelaskan bahwa produknya tuh nggak sekadar bisa menghilangkan dahaga, tetapi juga bisa membuat fokus, meningkatkan kepercayaan diri, dan beberapa hal menarik lainnya.”

Andriana mengangguk-angguk dari tempat duduknya. “Brand stories memberi nilai plus kepada sebuah brand.”

Excatly!” Alle tampak semringah. “Kita bisa mengadaptasi dalam versi jalanjalan.com. Kita selipkan nilai-nilai lebih yang dimiliki oleh jalanjalan,com.”

“Menurut hasil riset, pelanggan kita didominasi oleh generasi milenial. Ada tren peningkatan di kalangan anak muda yang menghabiskan uangnya untuk travelling. Tren tersebut meningkat hingga 10% tiap tahunnya. Merekalah target market kita selama beberapa tahun terakhir,” ujar Nina. “So, nilai-nilai plus yang akan kita selipkan harus relate ke kaum milenial.”

Hening sejenak. Semuanya tampak berpikir.

“Kita bisa memosisikan jalanjalan.com sebagai teman travelling yang asyik? Jadi, jalanjalan.com bukan sekadar aplikasi dan web buat mesen tiket, tetapi juga travelmate. Jalanjalan.com bisa memberikan pengalaman travelling terbaik dan mudah untuk pelanggan,” timpal Riska.

“Nah!” Alle kembali menjentikkan jarinya, “Gue sepakat dengan konsep itu.”

Diskusi pun berlanjut. Kantuk yang sejak tadi dirasakan oleh anggota tim, perlahan mulai menguap. Mereka terlihat bersemangat setelah mendapat pencerahan untuk menyusun proposal baru.

“Kita bagi tugas ya sekarang?” Nina kembali buka suara.

***

Alle memijat pangkal hidung dan mengalihkan pandangannya dari layar laptop. Diliriknya arloji yang melingkar di tangannya. Pukul 23.47 WIB. Dia lalu memeriksa aplikasi ojek online di ponselnya. Sebentar lagi pesanannya datang. Beberapa saat lalu, Alle diam-diam memesan martabak telur dan martabak manis untuk menemani tim mereka lembur malam ini.

Bang, ntar titipin aja pesanan saya di lobby ya. Nanti saya ambil ke bawah. Demikian pesan yang baru saja dia ketikkan di ponsel yang beberapa saat kemudian mati karena kehabisan baterai.

“Eh, gue keluar bentar.” Alle beranjak dari tempat duduknya, disambut lirikan kepo dari rekan-rekan satu timnya.

“Mau kemana?”

“Mau nge-charge HP. Charger-nya ketinggalan di kubikel,” sahutnya, sebelum meninggalkan ruang kaca.

Gadis itu menuju ke kubikelnya dan meninggalkan ponselnya di sana dalam posisi sedang mengisi daya. Tidak masalah jika dia turun tanpa membawa ponsel. Toh pesanannya sudah dia bayar lewat e-cash.

Lihat selengkapnya