Ckrek.
Lelaki itu memutar anak kunci, lalu menarik handle hingga pintu rumah terbuka. Setelah melepaskan sepatunya dan meletakkan di lemari yang ada di dekat pintu masuk, dia melangkah menembus gulita, menuju ruang tengah.
Cahaya bulan yang menyusup dari sela-sela lubang ventilasi dan gorden yang sedikit tersingkap, membuat ruangan itu sedikit lebih terang dibanding ruang tamu. Selama beberapa saat, Elang berdiri di ujung ruangan, dengan ujung tangan kanan menempel di permukaan sakelar lampu.
“Selamat datang, Sayang? Udah aku siapin air anget tuh. Mandi sana. Aku mau manasin sayur dulu.”
Sebuah suara kembali terngiang di telinganya, ketika lampu sudah menyala. Dalam bayangannya, pemilik suara itu tengah berdiri dan tersenyum menatapnya. Cantik. Sangat cantik
“Anya?” Elang menggumamkan sebuah nama. Beberapa detik kemudian, bayangan itu memudar, menyisakan kekosongan di tempat wanita itu biasa menyambutnya. Lelaki itu merasakan sebuah belati kembali menikam jantungnya. Rasanya sakitnya masih sama dengan empat tahun lalu.
Elang lantas menyeret langkahnya melewati ruang tengah yang sunyi, menuju dapur yang juga sunyi. Dia berhenti di depan kulkas, mengeluarkan sebotol air minum dan menuangkan isinya ke dalam cangkir birunya.
“Ih, malam-malam kok minum air dingin sih, Yang? Ntar pilek tahu.”
Suara itu kembali terngiang, saat dia hendak menyesap isi cangkirnya. Elang menyugar rambutnya, kasar. Dulu, dia merasa kesal mendengar omelan itu. Namun kini, lelaki itu sangat merindukannya. Rasa-rasanya, dia rela menukar apa pun, untuk bisa mendengar omelan itu lagi.
Tak menunggu lama, Elang segera membuang isi cangkirnya ke wastafel dan menggantinya dengan air dari dispenser. Dalam tiga kali teguk, isi cangkir tersebut tandas.
***
“Kelar! Boleh nggak, gue sujud syukur?” seloroh Andriana yang disambut cekikikan oleh penghuni ruang kaca yang lainnya.
“Eits, jangan senang dulu. Kita belum lolos dari mulut harimau. Kita masih harus presentasi di depan Pak Elang dan Pak Adrian.” Tirta menyeringai.
“Duh, kalau proposal ini nggak di-ACC juga, gue resign aja kayaknya.” Riska merenggangkan otot-otot tubuhnya yang terasa kaku setelah semalaman berjibaku dengan berlembar-lembar dokumen.
“Eh, siapa tahu hari ini Pak Elang nggak masuk? Kan semalam kejebak di lift bareng Alle sampai dini hari?” Nina mengulum senyumnya, sembari melirik Alle yang tengah meneguk air mineral langsung dari botolnya.
“Apaan sih? Udah dibilangin, nggak ada yang terjadi selama kami kejebak kok,” elak Alle. Gadis yang memiliki lingkaran hitam di bawah matanya karena kurang tidur itu menyeka mulutnya yang basah dengan punggung tangan.
Tawa Nina pecah. “Kejebak hampir dua jam, kalian cuma diem-dieman aja? Gue turut prihatin deh. Pasti lo bosen setengah mati.”
“Kami cuma ngobrol doang.”
“Ciyeee, kemajuan, Pak Elang mau ngobrol.” Riska tidak tahan untuk tidak ikut menggoda Alle.
“Ih, kalian ya? Bukannya bersyukur temennya nggak kehabisan napas di dalam lift yang rusak, malah nge-bully.” Alle berdecak kesal.
“Serius lo, semalam Nina udah uring-uringan pas lo nggak balik-balik. Dikira lo kabur dari lembur.” Tirta merapikan kertas-kertas yang berserak di meja sambil menahan tawa.
“Cih, suudzon.” Alle menatap Nina, tajam. Dia hanya pura-pura marah, tentu saja.
Yang ditatap segera mengangkat kedua tangannya di depan dada. “Ya lagian, lo, nggak ngabarin kalau kena musibah.”