12 Desember, 2019
Freya berlari kecil menuju kamar inapnya di rumah sakit jiwa yang selama beberapa bulan belakangan ini menjadi tempat tinggalnya. Ia senyam-senyum tidak jelas, seperti ada hal berbunga yang membuat raut wajahnya bahagia detik ini.
Benar. Gadis cantik itu baru saja pulang dari bepergian bersama Raka, tujuan mereka tadi masih sama seperti kemarin. Puncak bukit.
Entah ada hal spesial apa yang membuat Freya selalu ingin menanjak hingga puncak paling atas. Raka selalu bercerita banyak hal mengenani bukit itu, tentang pemandangan indah di atas sana, suasana yang masih asri, atau pohon pohon rindang yang membuat suasana sekitar terasa sejuk dan damai. Namun lagi-lagi, pendakian mereka gagal. Untuk kedua kalinya setelah kemarin, Raka kembali melemah, ia mengeluh dadanya sakit lagi, dan mau tak mau mereka pun menepi, meskipun kali ini pendakian mereka sedikit lebih jauh dibanding kemarin, tapi tetap saja gagal, dan mau tak mau harus kembali turun. Frey sebenarnya bisa saja mencapai puncak itu sendirian, melangkah dengan kakinya sendiri dan melihat pemandangan puncak bukit yang sejauh ini ia dambakan. Namun ada satu hal yang membuatnya enggan, bahwa ia ingin merasakan kedamaian itu bersama Raka. Ia tak sudi pergi ke atas sana dengan siapapun atau bahkan dirinya sendiri. Ia mau Raka. Dan hanya Raka.
Clak!
Frey yang awalnya berniat ingin jejingkrakan senang setelah masuk kamar pun justru langsung terdiam. Kaki putihnya yang tadi sudaj bersiap melompat kegirangan pun rasanya seperti lumpuh, bahkan senyuman manis di wajahnya yang cantik pun perlahan memudar.
"Frey, sini sayang," ada ayah di sana. "Kenalin ini tante Citra, calon mama kamu," bersama seorang wanita proporsional di sebelahnya.
Frey langsung diam seribu bahasa. Tatapan matanya mengartikan kekecewaan dan rasa bingung yang tak terbendung. Posisi Frey bahkan tak berubah, ia tetap berdiri di tempatnya dengan tangan kanannya yang masih bertengger pada knop pintu.
"Hai Freya," sapa wanita berambut coklat sebahu itu, lalu ia menghampiri Frey. "Kamu cantik banget," katanya memuji, lalu tangannya menyentuh pipi Frey.
Frey diam, entah kemana semua energinya pergi sampai-sampai tak kuasa untuk menepis tangan halus dari wanita di hadapannya.
"Kenalan dong, sayang," kata ayah dari belakang sana. "Tante Citra nih baik banget loh," lanjut ayah kemudian.
"Tapi..." dan akhirnya bibir Frey berani berucap meskipun samar. "Mama gimana, yah?" lanjutnya.
Ayah menghela napas panjang. "Frey, mama kan udah nggak ada, sayang."
"Tapi Frey nggak pernah mau mama yang baru."
Ayah berjalan mendekat ke Frey. "Frey, tolong ngerti," katanya.
"Ayah yang tolong ngerti."
Seketika, kalimat itu membuat ayah Frey terdiam.
Mata Frey sontak berkaca-kaca, melihat sikap ayahnya yang ia rasa begitu mudah melupakan wanita yang dahulu ia panggil mama. Frey tidak banyak bicara, bibirnya bungkam dan tatapan matanya nanar, namun bulir air mata itu perlahan turun tanpa izin.
"Frey, keluarga kita butuh pelengkap," kata ayah lembut.
"Frey sama ayah aja udah cukup," balas si cantik itu.
"Frey, kamu nggak paham maksud ayah."