13 Desember, 2019
Detik jam dinding itu menjadi satu-satunya suara yang Frey dengar di dinginnya malam ini. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah delapan malam, namun sejak siang tadi hingga saat ini, hujan turun. Tidak begitu deras, namun awet. Seharian ini Frey sama sekali tidak bertemu Raka, entah karena hujan atau apa, Raka tidak datang kemari. Tak ada kabar, seperti yang dikatakan sebelumnya bahwa Frey dan Raka adalah remaja dengan keterpaksaan harus tidak memakai gadget.
Sejujurnya Frey jatuh cinta terhadap hujan. Suasananya yang menenangkan, aroma tanah yang damai atau suara rintiknya yang syahdu selalu bisa menjadi alasan mengapa Frey mencintai musim hujan. Di bulan Desember ini, bulannya penghujan, bulan di mana air langit itu akan lebih sering turun daripada bulan-bulan yang lainnya, dan itulah alasan mengapa Frey juga begitu mencintai Desember. Namun kali ini, ada sedikit kegundahan di hatinya karena tak bertemu dengan Raka. Ada sedikit rasa kurang dari satu harinya yang seharusnya sempurna.
Frey hela napas panjang, ia yang rebah di atas ranjangnya pun kemudian bergerak mengganti posisi. Telentang. Menatap tepat ke atas di mana di sana terdapat langit-langit kamar inapnya. Tidak ada yang spesial, hanya langit-langit ruangan biasa yang dicat putih dengan sebuah lampu bohlam di tengahnya. Hingga pada akhirnya, Frey yang terlanjur dibunuh rasa bosan pun beranjak duduk di atas ranjangnya dan beralih menyetel televisi yang memang disediakan khusus di kamarnya. Ayahnya yang meminta pihak rumah sakit memberikan televisi LCD yang dibawa dari kamar Frey di rumah untuk diletakkan di sini. Biar Frey tidak terlalu bosan, begitu katanya.
Frey lagi-lagi hela napas panjang. Berkali-kali menekan tombol remot untuk ganti saluran televisi, namun nyatanya tak ada satupun acara atau film yang sekiranya akan membuat bosannya hilang. Acara malam begitu-begitu saja, paling-paling hanya acara lawak, bincang-bincang, dan sekian banyak sinetron yang bertebaran di banyak saluran televisi. Dan Frey sejujurnya tidak begitu menikmati.
Ia lantas menoleh ke kirinya, melihat jendela besar yang terturup tirai, ia diam sejenak sembari membiarkan suara hujan dan suara iklan televisi beradu di telinganya, sampa kemudian suara hujan itupun menjadi juara. Frey lantas bangkit dari duduknya, membiarkan televisnya terus menyala tanpa ada yang menonton, sementara ia perlahan berjalan mendekat ke jendela dan membuka tirainya. Tepat ketika tirai itu pergi dari pandangannya, mata Frey pun tertuju pada pemandangan hujan di luar sana. Ribuan rintik air yang secara bersamaan jatuh menghempas tanah, menghadirkan kedamaian dan ketenangan yang menurut Frey tidak bisa didapatkan dari musim yang lain.
Slalu ada yang bernyanyi dan berelegi dibalik awan hitam.
Frey yang sedang fokus-fokusnya memperhatikan rintikkan hujan lewat kaca jendela itu pun segera terhentak dan menoleh tepat ketika lirik awal dari sebuah lagu yang ia tau terdengar jelas di telinganya. Ia langsung menoleh ke sumber suara yaitu televisi yang tadi belum sempat ia matikan layarnya.
Semoga ada yang menerangi sisi gelap ini, menanti seperti pelangi.
Setia.
Menunggu hujan reda.
Frey diam sejenak hingga pada akhirnya ia balik badan dan memperhatikan layar televisi itu yang kini tengah menampilkan musik video klip dari salah satu lagu yang ia suka.