02 Desember, 2019
"Pagi, Frey."
Freya yang tengah terdiam menatap keluar lewat kaca jendela langsung menoleh ke arah pintu masuk, mendapati dokter Sekar menghampirinya dengan sepiring potongan buah kiwi yang Freya suka.
"Ayah nggak ke sini, dok?" tanya Frey.
"Tadi ke sini, tapi karena kamu belum bangun jadinya ayahmu pergi lagi, takut telat ngantor," perjelas dokter itu. "Ini ayah kamu titip kiwi."
Dokter Sekar meletakkan piring itu ke atas nakas di dekat ranjang Frey, lantas ia menghampiri dan mengelus pelan pundak Frey. Dokter Sekar mengikuti arah pandang Frey, di mana di depan kaca jendela sana ada sebuah hamparan taman hijau yang sengaja disediakan untuk para pasien.
"Mau ke luar sana?" tanya Dokter itu.
Frey menggeleng. "Enggak."
Dokter Sekar diam lagi, hingga tertelan beberapa menit mereka bungkam, membuat suasana semakin canggung. Dokter Sekar mengerti dan akan selalu mengerti bahwa Frey tidak hanya butuh pengobatan atau seorang dokter.
"Yaudah, aku keluar ya, mau cek kamar lain," ucap Dokter Sekar kemudian, dijawab anggukan oleh Freya.
Sesaat setelah mendengar suara pintu ditutup, Frey kembali fokus menatap ke depan sana. Memandang sunyinya hamparan taman yang disinari matahari pagi yang menenangkan.
Ada beberapa pasien lain yang terhitung jari sedang duduk di sana, sebagian lainnya berdiri. Mereka menikmati udara pagi dengan respon dan tingkah mereka masing-masing. Frey tidak terlalu peduli, tidak peduli apapun sampai matanya menangkap sesosok lelaki berjaket hitam dengan jinjingan tas yang terhubung dengan selang yang berakhir di kedua lubang hidung itu.
Itu dia cowok yang kemaren bukan, sih?.
Menepis rasa penasaran, Frey pun berjalan keluar, tepatnya ke taman itu, tempat yang beberapa menit tadi ia tolak untuk ia datangi.
Frey mendekat pada kursi panjang yang tersedia di dekat pepohonan, mendapati lekaki itu kini tengah duduk dengan tenang.
"Lo."
Gumaman Frey otomatis membuat lelaki itu menoleh. Tanpa alasan, lelaki itu tersenyum, tapi tidak bagi Freya.
"Sini duduk," tawar lelaki itu, membuat Frey diam sejenak, hingga akhirnya duduk juga.
"Sekarang di bawah aja, jangan ke atas atas lagi, kalo jatoh sakit," ujar lelaki itu kemudian, menyindir tentang kekonyolan Frey yang berniat bunuh diri kemarin.
Frey terdiam.
"Coba cerita, ada masalah apa sampe bisa niat bunuh diri kayak gitu?" tanya lelaki itu.
Freya terdiam, menganggap lelaki ini terlalu lancang untuk bertanya hal sejauh itu. Frey hanya menunduk, menatap hamparan rumput hijau yang terawat dengan baik.
"Kalo nggak mau ngasih tau nggak pa-pa, dan kalo suatu saat tiba-tiba lo butuh temen cerita gue tetep siap dengerin," imbuhnya lagi.
Frey mendongak, menatap kedua bola mata lelaki asing yang baru ditemuinya kemarin. Didengar dari ucapannya, membuat Frey yakin bahwa lelaki di hadapannya sekarang memang benar-benar seseorang yang bisa dipercaya.
"Bokap gue pikir gue gila," ujar Frey. "Makanya gue di sini, rumah sakit jiwa."
Laki-laki itu sigap mendengarkan.
"Sejak beberapa bulan lalu gue punya satu masalah yang gue sendiri nggak tau gimana cara ngadepinnya."
Freya menangis.
"Karena sikap gue yang makin hari makin nggak stabil, ayah justru masukin gue kesini," Frey ambil jeda. "Parah nggak sih, gue nangis atau emosian itu murni karena gue belum bisa ngadepin masalah gue sendiri, tapi ayah malah kayaknya mikir kalo gue gila."
"Siapa lagi yang lo punya selain ayah lo?"
"Nggak ada. Ayah juga kadang sibuk sama kerjanya, bikin gue makin kesepian, kalo gini caranya gue bisa bener-bener jadi gila."