Tidak Ada Desember Tahun Ini

dey
Chapter #3

We Only Get Better

03 Desember, 2019

"Frey nggak mau! Frey nggak gila!"

Frey menerobos ayah, dokter Sekar, dan satu perawat rumah sakit yang berdiri di dalam kamar inapnya. Perawat yang diterobos Frey bahkan hampir terjatuh saking keras dan brutalnya perlawanan gadis itu.

Awal mula dari semua ini adalah ketika ayahnya dan dokter Sekar datang menghampiri ketika Frey sedang menyendiri di kamar inapnya. Ralat, memang selalu sendiri. Ayahnya dan dokter Sekar bilang bahwa seorang ahli psikologi lain selain dokter Sekar sudah datang untuk menemui Frey dan mengajaknya berbincang sejenak. Frey tau maksud dari semua ini, mereka menganggap Frey terlalu tidak waras hingga disewakan dokter ahli yang sengaja dibayar untuk mengajaknya bicara lantas setelah itu ahli psikologi tersebut akan membaca dan menelaah semua sikap dan tutur bicara Frey dengan ilmu psikolognya.

Frey bahkan masih terlalu waras untuk menyadari semua itu.

Frey berlari sambil menangis. Ia bahkan tak tau tujuannya kini akan kemana. Alhasil, lagi dan lagi, pusat tujuannya hanya berakhir di rooftop.

Frey menaiki tangga dengan cepat, berharap dirinya segera tiba di atas agar orang-orang itu tak mengejar dirinya lagi. Ia membuka pintu rooftop secara keras dan tak sabaran, hingga kemudian sentakan kaget dari seseorang yang sudah lebih dulu berada di rooftop membuat Frey terdiam malu dengan rasa tak enak hati.

"Ngapain? Mau bunuh diri lagi?" tanya orang itu.

Benar, dia Raka.

Raka yang berdiri agak jauh di sana, segera berjalan menghampiri Frey, menarik tangan Frey dan membawa Frey lebih jauh ke tengah rooftop.

"Gue pegangin lo deh, biar nggak asal lompat," ujar Raka.

Frey menepis genggaman tangan itu. Hingga kemudian ia memilih berjongkok dan menenggelamkan wajahnya dalam kedua tangan, menangis, yang Frey rasakan hanya wajah basah yang kian menjadi-jadi, juga semilir angin yang membelai kulitnya pelan. Lalu, ditambah dengan sentuhan hangat sebuah tangan.

Frey mendongak, mendapati Raka sudah menjajari posisinya dan mengelus pundaknya.

"Kenapa?" tanya Raka.

Frey hanya diam, malu untuk menjelaskan alasan mengapa ia kemari dan menangis.

"Ayah masih aja anggep gue gila," tapi entah kenapa, berbicara dengan Raka membuatnya jauh lebih lega.

"Maksudnya?"

"Gue udah ditaro di rumah sakit jiwa aja menurut gue udah keterlaluan, sekarang ayah malah sewa ahli psikologi buat gue segala."

Raka terdiam.

"Gue nggak gila," imbuh Frey.

"Gue tau."

Frey diam.

"Dan gue percaya," lanjut Raka.

"Nggak usah sok simpatik."

"Serius."

Frey diam lagi, tak peduli dengan segala ucapan Raka.

Sejenak hening. Keduanya sama-sama bungkam. Hamparan awan yang nampak di depan mereka kian menguning, menunjukkan petang sebentar lagi datang. Freya dan Raka yang kini duduk di hamparan rooftop itu sama-sama menatap ke depan. Seakan tersihir oleh indahnya anugerah Tuhan yang biasa orang sebut dengan senja.

"Denger deh."

Lihat selengkapnya