Tidak Ada Desember Tahun Ini

dey
Chapter #5

Kebebasan Yang Dipenjarakan

05 Desember, 2019

Pagi ini, sesaat setelah bangun tidur, Frey sesegera mungkin membuka lebar-lebar jendela beserta tirainya. Satu yang Frey harap, bahwa jika nanti Raka datang kemari menemuinya, tak akan ada lagi sandiwara tukang antar paket untuk yang kedua kalinya.

Menit-menit awal, Frey berdiri sumringah di dekat jendela, berharap bisa langsung menatap Raka sekalipun berjarak sekian meter dari dirinya. Bahkan, potongan kiwi yang memang selalu diberikan untuk Frey di pagi hari sudah ia siapkan untuk nanti mereka makan berdua.

10 menit pertama.

25 menit pertama.

1 jam pertama.

Raka tidak datang.

"Kemana dia tumben," gumam Frey.

Frey melongok melihat ke luar jendela, mencari kesana kemari berharap ada seorang pria tampan dengan selang oksigen yang ia bawa datang menghampiri. Tapi ini sudah lebih dari satu jam, dan Raka tetap tidak terlihat. Frey lantas mengambil balik piring berisi kiwi yang sengaja ia letakkan di dekat jendela untuk dimakan bersama jika Raka datang. Frey hela napas, piring itu ia letakkan kembali di atas nakas, ia akhirnya duduk di atas ranjangnya, masih berharap bahwa Raka akan datang. Namun jawabannya;

Tidak.

Frey menghela napas lagi dan duduk memeluk lututnya di atas ranjang. Ia mematikan televisi dengan tontonan Spongebob yang masih saja terputar karena memang durasi kartun tersebut lumayan lama dalam tontonan TV. Sejenak, si cantik itu melihat ke sekeliling kamar inapnya. Kamar rumah sakit jiwa yang sejujurnya lebih mirip dengan kamar rumah sakit umum kelas satu. Mungkin, untuk kebanyakan orang di luar sana, kamar inap seperti milik Frey ini adalah salah satu tempat yang bisa dikatakan nyaman. Frey pun sempat berpikiran seperti itu ketika hari-hari awal ia dirawat, tapi lama kelamaan, rasa-rasanya imajinasi dan kehidupan bebasnya dimatikan perlahan-lahan dalam kenyamanan itu.

Frey mengeratkan pelukannya pada lututnya yang terbalut celana panjang. Ia menenggelamkan wajahnya dan menangis, mengingat betapa kejamnya sang ayah yang hingga detik ini enggan membiarkan Frey tinggal di rumah dan masih beranggapan bahwa anak gadisnya ini adalah orang dengan keterbelakangan mental. Bagaimana bisa cinta pertama seorang anak perempuan tega melakukan itu?

Frey menoleh lagi ke arah jendela dan masih berharap bahwa Raka akan datang, setidaknya Frey ingin memiliki teman yang bisa membunuh rasa sepinya kali ini. Itu saja, tidak lebih.

Ia kemudian beranjak dari atas ranjangnya dan menutup tirai jendela karena sosok yang ia harapkan tak kunjung terlihat dari batasan kaca bening itu. Ia kemudian balik badan dan kembali melihat seisi kamar inapnya, dan tanpa basa-basi, detik berikutnya ia melangkah keluar.

Frey berjalan pelan, amat pelan. Melihat kesana kemari dan jaga-jaga jikalau ada yang melihatnya keluar dari kamar, dan sejauh ini ia aman. Ia menelik ke berbagai arah, berharap jika saja Raka kemungkinan ada di dalam area rumah sakit ini dan sengaja tak sengaja menemui dirinya. Tapi jawabanya tidak. Karena sejauh mata memandang, yang Frey lihat hanyalah lorong-lorong rumah sakit yang monoton dan sekian pasien penderita gangguan mental yang wara-wiri dengan tingkah mereka masing-masing. Ada lelaki paruh baya yang berjalan girang dengan mobil mainan di tangannya, ada seorang wanita tua yang duduk sembari menangis dan memeluk sebuah boneka, ada juga beberapa orang dewasa yang berlarian seperti anak kecil.

Frey berjalan sangat menepi dan berusaha menjauh dari orang-orang itu agar tidak jadi sasaran jambak mereka. Karena biasanya, jika melihat orang lain, pasien-pasien sekitar sini seringkali bersikap brutal, kata dokter Sekar, mereka kemungkinan berpikir bahwa orang lain berniat menjahati mereka atau berniat mengambil mainan yang mereka bawa, meskipun sejatinya Frey tak pernah memiliki niatan seperti itu, tapi ia tetap harus berjaga dan melindungi dirinya sendiri.

Melihat pemandangan seperti ini, yang ada di benak Frey hanya satu; bebas.

Lihat selengkapnya