06 Desember, 2019
Ini sore hari, kisaran pukul setengah lima kurang lebihnya. Seperti biasa, Frey yang terpenjara dalam suasana membosankan rumah sakit pun hanya terus bisa berharap akan kedatangan Raka. Frey sudah menunggu lelaki itu sejak pagi, namun Raka tak kunjung kemari menemuinya, bahkan potongan kiwi segar yang sengaja ia biarkan sejak pagi untuk dimakan berdua Raka itu kini sudah layu dan nampak tidak begitu menggiurkan lagi untuk dimakan.
Kebosanan hari ini bagi Frey amat panjang waktunya, ya jelas saja karena Raka tak kunjung datang untuk menghiburnya. Entah kenapa, mereka berdua sama-sama sulit untuk berkomunikasi secara tidak langsung. Mereka tidak seperti kebanyakan remaja pada umumnya yang masih bisa mengobrol tanpa bertatap muka via telepon dan pesan singkat. Namun itu tdak bagi Freya dan Raka, mereka tidak bisa berkomunikasi lebih dekat lewat chit-chat ala anak muda yang mungkin bisa jadi perantara pendekatan antara keduanya. Alasannya sederhana, Freya tidak diizinkan memiliki handphone oleh sang ayah, dan alasan kedua, Raka pun kelihatannya bernasib sama karena lelaki itu tidak pernah sekalipun meminta kontak Frey atau membicarakan hal-hal yang menyangkut media digital. Raka lebih suka langsung datang tanpa banyak basa-basi, dan Frey pun lebih suka pertemuan tanpa banyak alibi.
Agak terdengar miris untuk seorang remaja kan? Memang begitu adanya. Terakhir kali Frey memegang ponsel itu ketika ia masih di bangku SMA, ya sekitar beberapa bulan lalu sebelum ia harus dirawat di rumah sakit. Ia sebelumnya sama saja seperti remaja tanggung lainnya, berkomunikasi dengan orang sekitar lewat ponsel kala tak bisa bertemu, memiliki akun-akun media sosial dan sekian banyak pengikut, bermain game-game online, hingga menonton film lewat link-link bajakan di internet. Ia benar-benar sama seperti remaja lain, melakukan hal yang tidak jauh beda dengan mereka, sebelum akhirnya ia terpinggirkan dan dibedakan. Oleh ayahnya sendiri.
Ayahnya bilang, untuk keadaan Frey yang sekarang ini tak begitu baik jika Frey diberikan fasilitas semacam handphone. Ayahnya memiliki pikiran bahwa ponsel bisa membawa pengaruh buruk, apalagi untuk remaja seperti Frey, ada banyak hal-hal bahaya dan tidak baik yang terdapat dalam suatu benda kecil bernama ponsel. Ayahnya hanya berpikir bahwa yang saat ini paling Frey butuhkan hanyalah pengobatan dan pemulihan, bukan media digital. Ya, tidak seratus persen salah memang, namun seharusnya ayahnya pun tau bahwa ada kebosanan dan kesepian yang perlahan membunuh putrinya karena hal-hal sesepele itu.
Tak! Tak! Tak!
Di tengah bungkamnya akan kesepian, Frey langsung terkejut dan reflek bangun dari duduknya di atas ranjang untuk kemudian membuka tirai jendela di mana sumber suara itu berasal. Pikiran Frey hanya satu; Raka.
Srett.
Benar tebakannya.
Tepat ketika gorden berwarna agak keemasan itu ia tarik, sosok wajah tampan dengan selang oksigen di hidung itu menjadi hal pertama yang Frey lihat, dan satu lagi, menjadi hal pertama yang membuat Frey tersenyum hari ini.
Si cantik itu buru-buru membuka kaca jendelanya dan memandang wajah Raka tanpa pembatas. "Tumben sore ke sininya?" kata Frey.
"Kangen ya?" ledek Raka, lalu keduanya tertawa. "Mau ngajak lo keluar boleh nggak?" lanjutnya.
"Paling-paling juga rooftop."
Raka terkekeh. "Tau aja. Ayo?"
"Bentar bentar."
"Yaudah gue duluan ya?"
Frey mengangguk.