Salju tidak datang lagi tahun ini.
Lea Tanaka memandang keluar jendela laboratorium sambil menggenggam secangkir teh hijau yang sudah mendingin. Tokyo di luar sana—kota yang seharusnya berselimut putih pada musim ini—hanya menyajikan pemandangan gedung-gedung kelabu di bawah langit yang mulai memerah. Tangannya menari di atas keyboard, memasukkan angka-angka yang menyiratkan anomali, penyimpangan, dan ketidakwajaran. Empat tahun tanpa salju. Menurut data, ini belum pernah terjadi dalam sejarah pengukuran cuaca Tokyo selama 130 tahun.
Layar komputernya berkedip-kedip, memantulkan cahaya pada wajahnya yang cokelat terang—warisan genetik dari ibunya yang berasal dari Indonesia. Matanya yang sedikit sipit—warisan dari ayahnya yang asli Jepang—tidak beranjak dari deretan angka, seolah di antara digit-digit itu tersembunyi jawabannya.
"Data dari stasiun Hokkaido juga menunjukkan penurunan presipitasi salju hingga tiga puluh persen," gumamnya pada diri sendiri dengan suara nyaris tertelan oleh dengung pendingin ruangan.
Sebuah grafik muncul di layar, garis-garis berwarna yang menukik turun seperti jalur ski yang terlalu curam. Empat tahun. Tidak mungkin hanya kebetulan. Sesuatu telah berubah dalam sistem-sistem pencatat yang dari dulu diandalkan. Ia mencatat dalam benaknya, perubahan itu seperti air yang menetes perlahan, tak terasa hingga suatu hari kau terbangun dan mendapati rumahmu tergenang.
"Tanaka-san, kau masih di sini? Sudah hampir tengah malam."
Kepala Lea berputar, mendapati Profesor Yamamoto berdiri di ambang pintu dengan tas selempang dan mantel tebal. Pria tua itu mengerjap dari balik kacamatanya yang tebal dengan wajah menyiratkan keheranan yang tercampur kekhawatiran.
"Ah, saya hampir selesai, Profesor. Hanya ingin memastikan analisis regresi ini selesai sebelum besok."