Apartemen Lea terletak di distrik Koenji, dua puluh menit perjalanan dengan kereta dari Universitas Tokyo. Unit kecil yang ia sewa sejak enam tahun lalu—satu kamar tidur, satu ruang multifungsi, dan kamar mandi sempit yang juga berfungsi sebagai tempat mencuci. Taman di sebelah gedung apartemen menyediakan pemandangan rindang dari jendelanya, meski saat ini pepohonan telah kehilangan sebagian besar daunnya. Pertanda musim gugur mulai tiba.
Ia memasukkan kunci, mendorong pintu, lalu disambut oleh keheningan dan kegelapan. Tangannya meraba dinding, menemukan saklar lampu.
Apartemen itu menyala dalam cahaya putih steril. Semuanya tertata rapi—meja kerja dengan laptop tertutup, sofa tunggal berwarna abu-abu, rak buku berisi literatur ilmiah, dan beberapa novel klasik, serta lemari kecil tempat televisi yang jarang dinyalakan. Tidak ada barang-barang dekoratif, tidak ada foto-foto dalam bingkai, tidak ada tanaman hias. Hanya sebuah salib kayu kecil yang tergantung di dinding—hadiah ibunya yang tidak pernah ia berani lepaskan.
Lea meletakkan tasnya di sofa, langsung menuju dapur mungil untuk memanaskan makanan yang ia beli dalam perjalanan pulang. Suara microwave mendengung, mengisi keheningan apartemen dengan kebisingan monoton. Ia berdiri di sana, matanya kosong, pikirannya masih berputar-putar di sekitar data yang ia tinggalkan di laboratorium.
Tiga menit berlalu. Microwave berdenting. Makanan siap.
Baru saja ia hendak duduk di meja makan kecilnya ketika telepon berdering.
"Halo, Ma," jawabnya dalam bahasa Indonesia.
"Kau baru pulang?" Suara ibunya terdengar jelas dengan aksen Batak yang masih kental meski telah tinggal di Jepang selama tiga dekade. "Sudah makan?"
"Baru saja mau makan, Ma. Mama sudah makan?"
"Sudah. Mama masak ikan asam pedas. Seharusnya kau makan di sini saja."
Lea menelan helaan napasnya. Ibunya tinggal di apartemen sebelah—sebuah keputusan yang diambil setelah ayahnya meninggal. "Untuk keamanan dan kebersamaan," begitu alasan ibunya saat itu. Yang tidak dikatakan, "Agar Mama bisa terus mengawasimu."
"Maaf, Ma. Tadi sibuk di lab. Besok saya makan di tempat Mama, ya?"
"Baiklah. Besok kita berangkat ke gereja jam delapan. Pastor Tanaka akan berkhotbah tentang keluarga Kristen dan—"