Bandung diselimuti kabut tipis sore itu, memberikan kota hujan itu aura misterius yang selalu Rahmat kagumi. Ia duduk di sebuah warung kopi pinggir jalan, memandangi layar laptop yang menampilkan foto-foto hasil jepretannya hari ini—wajah-wajah nelayan di Pantai Pangandaran, jaring-jaring yang setengah kosong, dan pantai yang semakin sempit tergerus abrasi.
"Kopinya tambah, Mas?"
Rahmat mengangkat wajah, bertemu pandang dengan pelayan warung yang tersenyum ramah. "Boleh, Kang. Satu lagi."
Jemarinya menari di atas keyboard, memilih, mengedit, dan mengategorikan foto-foto. Setiap wajah menceritakan kisah. Setiap lanskap menyimpan sejarah. Ia berhenti pada satu foto—seorang nelayan tua menatap laut dengan kerutan dalam di dahinya, matanya menyiratkan kebingungan dan kecemasan.
"Sudah tiga musim ikan-ikan besar tidak datang, Mas," kata pak tua itu padanya tadi siang. "Dulu kalau musim timur begini, tongkol dan tuna banyak sekali. Sekarang? Jangankan tuna, teri juga susah."
Rahmat menghela napas. Ia telah mendokumentasikan cerita seperti ini berulang kali di berbagai pesisir Indonesia. Perubahan pola migrasi ikan. Kenaikan suhu air laut. Cuaca yang semakin tak terprediksi. Badai yang semakin sering. Semua cerita ini memiliki benang merah yang sama—dunia sedang berubah, dan mereka yang paling terdampak adalah mereka yang paling sedikit berkontribusi pada perubahan itu.
Ponselnya bergetar. Nama Diana Fiberta muncul di layar.
"Halo, Diana," jawabnya, menjepit ponsel di antara telinga dan bahu sementara tangannya masih mengedit foto.
"Rahmat, bagaimana kabar proyek Pantai Pangandaran?" Suara Diana terdengar bersemangat seperti biasa.
"Baru selesai sesi hari ini. Hasilnya... menyedihkan sekaligus mengesankan. Kau akan menyukai serinya."