Tidak Ada Salju Di Sini

Aryasuta
Chapter #4

Anomali - Potongan 4

"Assalamualaikum," panggil Rahmat saat memasuki rumah keluarganya di kawasan Cibiru, Bandung.

"Waalaikumsalam," jawab sebuah suara lembut dari dalam, diikuti langkah-langkah kecil yang tergesa. Sarah, adik perempuannya, muncul dengan senyum lebar.

"Kakak! Kenapa tidak bilang mau pulang? Aku bisa masak lebih banyak tadi."

Rahmat memeluk Sarah singkat. "Mendadak, proyek di Pangandaran selesai lebih cepat. Ibu mana?"

"Di kamar, menjaga Bapak. Kondisinya kurang baik hari ini."

Rahmat mengangguk, merasakan kecemasan yang selalu muncul setiap kali mendengar kabar tentang ayahnya. Abi Sina—ulama terkemuka dan pimpinan pesantren yang kini semakin rapuh karena penyakit jantung.

"Aku ke atas dulu," katanya, meletakkan tas kameranya di sofa.

Langkah Rahmat terasa berat saat menaiki tangga kayu yang berderit. Rumah ini penuh dengan kenangan—sebagian manis, sebagian pahit. Dinding-dindingnya dihiasi kaligrafi Arab dan foto-foto keluarga dalam bingkai kayu. Ia berhenti sejenak di depan foto lamanya—Rahmat kecil dengan baju koko putih dan peci hitam, berdiri tegak di samping ayahnya yang gagah. Senyumnya lebar saat itu, matanya berbinar dengan kebanggaan dan kekaguman.

Kapan semuanya berubah? Ia bertanya dalam hati. Kapan senyum itu memudar dan digantikan dengan ketegangan?

Rahmat mengetuk pintu kamar orang tuanya dengan lembut.

"Masuk," suara ibunya terdengar dari dalam.

Ia membuka pintu, mendapati pemandangan yang kini menancap di otak—ayahnya berbaring di ranjang dengan beberapa bantal menyangga punggungnya, ibunya duduk di kursi samping ranjang dengan Al-Quran terbuka di pangkuannya.

"Assalamualaikum, Bu, Pak," sapanya, melangkah masuk dengan hati-hati.

"Waalaikumsalam," jawab ibunya dengan senyum lembut. "Rahmat, kok tidak bilang mau pulang?"

Ayahnya hanya melirik sekilas, ekspresinya datar. Jenggot putihnya yang rapi kontras dengan wajahnya yang semakin tirus. Matanya yang dulu berapi-api kini redup, meski masih menyimpan ketegasan.

"Spontan, Bu. Proyek di pantai selesai lebih cepat."

Rahmat mencium tangan ibunya, lalu mendekati ayahnya dengan ragu. "Bagaimana keadaan Bapak?"

"Seperti yang kau lihat," jawab Abi singkat, suaranya lebih lemah dari yang Rahmat ingat. "Semakin tua, semakin dekat dengan kubur."

"Jangan bicara begitu, Pak," tegur Aminah dengan lembut. "Allah masih memberi kita waktu bersama."

Lihat selengkapnya