Udara Jakarta menampar wajah Lea begitu ia melangkah keluar dari terminal kedatangan internasional. Panas dan lembab—sebuah tembok tak kasat mata yang menekan dari segala arah, begitu berbeda dari kekeringan dingin Tokyo yang ia tinggalkan pagi tadi. Keringat mulai mengalir di punggungnya, merembes melalui kemeja linen putih yang ia pilih khusus untuk perjalanan ini.
Jadi beginilah rasanya, pikirnya. Tanah leluhur mama yang selalu ia ceritakan dengan mata berkaca-kaca.
Lea menyeret kopernya melalui kerumunan penjemput yang berteriak-teriak menawarkan taksi, hotel, sampai wisata kota. Matanya mencari-cari papan bertuliskan namanya yang mungkin dibawa oleh panitia konferensi. Ratusan wajah asing bergerak dalam gelombang manusia yang tak beraturan, menciptakan lautan suara yang berdengung di telinganya. Dua puluh tahun hidup di Jepang yang terstruktur dan teratur, ia tidak mempersiapkan diri untuk kekacauan harmonis ini.
"Doktor Tanaka?"
Sebuah suara memanggilnya, jernih di tengah hiruk-pikuk. Lea berpaling, menemukan seorang perempuan muda dengan setelan rapi dan senyum profesional.
"Ya, saya Lea Tanaka."