"Sedikit ke sudut kanan... ya, sempurna," gumam Rahmat pada dirinya sendiri, jarinya menekan tombol shutter dengan lembut, menangkap momen seorang pembicara sedang menjelaskan grafik di layar besar.
Konferensi telah dimulai sejak pagi, dan sebagai fotografer resmi, Rahmat bergerak seperti bayangan di antara peserta—hampir tak terlihat namun mengabadikan setiap momen penting. Kamera adalah perpanjangan dirinya, sebuah mata ketiga yang melihat apa yang dilewatkan orang lain.
Ia mengecek jam tangannya. Hampir waktu untuk sesi panel berikutnya. Pembicara utamanya adalah Doktor Lea Tanaka, peneliti dari Tokyo yang fotonya telah ia lihat beberapa kali di artikel-artikel ilmiah. Rahmat bergerak ke arah ruangan panel, memposisikan dirinya di sudut yang strategis.
Ruangan mulai terisi oleh para peserta konferensi—akademisi, peneliti, aktivis lingkungan, dan perwakilan pemerintah dari berbagai negara Asia-Pasifik. Ia menyesuaikan lensa kameranya, mempersiapkan diri untuk sesi berikutnya.
"Excuse me, is this seat taken?"
Rahmat menoleh, dan untuk sesaat ia tidak dapat berkata-kata. Di hadapannya berdiri perempuan yang ia kenali dari foto—Lea Tanaka—tapi, kehadirannya secara langsung memiliki intensitas yang tidak tertangkap kamera. Matanya yang tajam, postur tubuhnya yang tegap dan waspada, serta ekspresi wajahnya yang fokus menciptakan aura yang nyaris bisa dirasakan secara fisik.
"Oh, silakan," Rahmat menjawab, menyadari bahwa ia telah menjawab dalam bahasa Indonesia. "I mean, please, it's free," koreksinya dalam bahasa Inggris.
Lea menatapnya sejenak, matanya menyipit sedikit seperti mengevaluasi sesuatu. "Terima kasih," balasnya dalam bahasa Indonesia yang terdengar kaku namun jelas.
Rahmat mengerjap kaget. "Anda bisa berbahasa Indonesia?"
"Sedikit," jawab Lea, beralih ke bahasa Inggris. "My mother is Indonesian, but I grew up in Japan."
"Ah, I see. That's interesting," jawab Rahmat tersenyum, mengulurkan tangannya. "Rahmat Rushd, National Geographic photographer. I'll be documenting the conference."
Lea menjabat tangannya singkat, kontak yang efisien dan profesional. "Lea Tanaka, University of Tokyo. I'm presenting in this next session."
"I know," kata Rahmat, lalu menyadari bahwa itu mungkin terdengar aneh. "I mean, I've read your paper on snow anomalies in Tokyo. Very fascinating approach, connecting it to ocean current changes."
Alis Lea terangkat sedikit, tampak terkejut bahwa seorang fotografer telah membaca paper-nya. "Thank you. Most people find my research too... technical."
"Well, I'm not most people," jawab Rahmat tersenyum, mengangkat kameranya. "Mind if I take some photos while you prepare? The contrast between presenter and audience moments creates interesting narratives."