"Next, we have Rahmat Rushd from National Geographic Indonesia presenting Faces of Change: Visual Documentation of Climate Impact on Indonesia's Coastal Communities."
Lea menegakkan posisi duduknya, mendapati dirinya tertarik untuk melihat apa yang akan dipresentasikan oleh fotografer yang telah mengkritik pendekatannya secara halus itu. Rahmat melangkah ke podium dengan percaya diri yang berbeda dari kepercayaan diri para akademisi—sebuah kenyamanan alami, bukan ketegangan yang dikendalikan seperti yang ia rasakan sendiri.
Slide pertama muncul—foto seorang nelayan tua dengan wajah berkerut dalam, menatap laut dengan ekspresi yang sulit diartikan. Tidak ada grafik. Tidak ada tabel. Hanya wajah manusia yang menghadapi perubahan yang tak terhindarkan.
"This is Pak Sumarno, a 67-year-old fisherman from Pangandaran," mulai Rahmat, suaranya dalam dan tenang. "For fifty years, he has relied on the patterns of the sea—when certain fish migrate, when storms will come, when the tides will be high or low. But for the past five years, he tells me, none of those patterns make sense anymore."
Slide berganti, menampilkan foto jaring-jaring kosong yang digantung untuk dikeringkan.
"The fish that should be plentiful during this season are gone. The waters are warmer, pushing the schools farther out to sea, beyond the reach of small boats like Pak Sumarno's."
Foto demi foto ditampilkan—rumah-rumah yang terendam air pasang, anak-anak bermain di perahu yang setengah tenggelam, perempuan-perempuan memilah hasil tangkapan yang semakin sedikit, dan pantai yang terkikis abrasi.
"What you're seeing is not just environmental change, but cultural and economic transformation. These communities have existed in harmony with the sea for generations. Their knowledge, their traditions, their very identity is tied to predictable patterns that are now disappearing."
Lea menemukan dirinya terserap dalam narasi visual. Tidak ada satu pun data numerik dalam presentasi Rahmat, tapi ia merasakan dampak perubahan iklim dengan cara yang tidak pernah ia rasakan ketika menganalisis dataset selama berjam-jam.
"This girl," ujar Rahmat sambil menampilkan foto seorang anak perempuan sekitar sepuluh tahun, berdiri di depan sekolah sederhana. "Told me she wants to be a scientist when she grows up. She wants to understand why the sea is changing, why her father comes home with less fish each year. She represents a generation that will need to adapt to a world very different from the one their parents knew."
Lea merasakan sesuatu bergerak dalam dirinya—sebuah pengakuan. Bukankah itu juga yang mendorongnya menjadi ilmuwan? Keinginan untuk memahami perubahan, untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang menggelisahkan?
Rahmat melanjutkan, menunjukkan bagaimana komunitas pesisir mulai beradaptasi—diversifikasi mata pencaharian, teknik penangkapan ikan yang berbeda, dan relokasi rumah ke area yang lebih tinggi. Setiap foto menceritakan kisah ketahanan manusia di tengah perubahan besar.
"What I hope to convey through these images," lanjut Rahmat mendekati kesimpulan. "Is that climate change is not an abstraction. It's not just data points on a graph. It's Pak Sumarno wondering if his grandson will be able to follow in his footsteps. It's a young girl dreaming of science as a way to save her village. It's real people making difficult choices in the face of uncertainties."
Slide terakhir menampilkan panorama matahari terbenam di atas laut, dengan siluet perahu-perahu nelayan yang kembali ke pantai—gambar yang indah, tapi mengandung kesedihan yang tak terucapkan.