Kamar hotel Lea sunyi ketika ia kembali setelah makan malam dengan Rahmat. Ia melepas sepatunya, meletakkan tas kerjanya di meja, dan duduk di tepi tempat tidur, merasakan kelelahan yang berasal dari lebih dari sekadar aktivitas fisik.
Ponselnya berdering—mamanya, tentu saja.
"Halo, Ma," jawabnya, beralih ke bahasa Indonesia yang terasa kaku di lidahnya.
"Lea! Bagaimana Jakarta? Sudah bertemu sepupu-sepupumu?"
"Belum, Ma. Baru hari pertama konferensi. Mungkin besok atau lusa."
"Jangan lupa mengunjungi mereka. Tante Silvi sudah siapkan kamar untukmu kalau mau menginap."
Lea memejamkan mata. Ia hampir lupa bahwa mamanya telah mengatur pertemuan keluarga besar—kerabat-kerabat yang hampir tidak ia kenal, yang hanya pernah ia temui saat kecil dulu.
"Akan saya usahakan, Ma, tapi jadwal konferensi padat."
"Bagaimana presentasimu? Sukses?"
"Ya, berjalan lancar," jawab Lea, lalu tanpa pikir panjang menambahkan. "Aku bertemu fotografer menarik dari National Geographic. Rahmat Rushd. Dia mendokumentasikan dampak perubahan iklim pada masyarakat pesisir."
"Oh?" Ada nada berbeda dalam suara mamanya. "Laki-laki?"