Tidak Ada Salju Di Sini

Aryasuta
Chapter #10

Pesisir - Potongan 1

Matahari Jakarta bersinar dengan intensitas yang mengingatkan Lea akan lampu laboratorium—konstan, tanpa ampun, dan menyoroti segala hal tanpa pilih kasih. Hanya saja, tidak seperti laboratorium yang terkendali, Jakarta adalah riuh yang tidak dapat diprediksi; sebuah eksperimen yang terus berlangsung tanpa variabel kontrol.

Lea menunggu di lobi hotel, mengenakan kemeja linen biru muda dan celana khaki—pilihan praktis untuk tur yang dijanjikan Rahmat. Ponselnya menunjukkan pukul 09.03, dan ia sudah mulai merasa gelisah. Di Tokyo, terlambat tiga menit adalah penghinaan. Di sini? Ia berusaha memahami bahwa waktu mengalir dengan ritme yang berbeda.

"Pagi, Doktor Tanaka," suara Rahmat mengejutkannya.

Lea berpaling, mendapati Rahmat tersenyum dengan kamera menggantung di lehernya—seperti organ tambahan yang telah menyatu dengan tubuhnya. Ia mengenakan kemeja lengan pendek berwarna terakota dan celana jin, kasual namun tetap rapi.

"Kau datang tepat waktu," kata Lea, sedikit terkejut.

"Tentu saja," jawab Rahmat tersenyum lebar. "Kau pikir aku akan terlambat? Stereotip jam karet Indonesia, ya?"

Lea merasakan rona merah samar di pipinya. "Maaf, aku tak bermaksud—"

"Tidak apa-apa," potong Rahmat tertawa kecil. "Itu stereotip yang masih sering benar. Tapi aku bekerja dengan banyak klien internasional, jadi tepat waktu adalah keharusan. Siap melihat Jakarta dari sudut yang berbeda?"

"Tentu," jawab Lea mengangguk. "Ke mana kita akan pergi?"

"Tidak ke tempat-tempat yang ada di brosur turis," jawab Rahmat mengedipkan mata, sesuatu yang akan terasa menggelikan jika dilakukan pria lain, tapi pada Rahmat, gestur itu terasa alami. "Kita akan ke tempat-tempat yang menunjukkan bagaimana kota ini bernapas, bertahan, dan berubah."

Mereka keluar hotel, disambut oleh terik matahari yang langsung menyengat kulit. Berbeda dengan Tokyo yang dingin dan kering, Jakarta adalah pemandian uap yang menyelimuti tubuh dalam kelembaban pekat.

"Kita naik apa?" tanya Lea, memandang mobil-mobil yang bergerak lambat di jalan raya di depan hotel.

"Sepeda motor," jawab Rahmat, menunjuk ke arah sebuah motor sport berwarna hitam yang diparkir tak jauh dari sana. "Cara tercepat dan paling otentik untuk berkeliling Jakarta. Tapi jika kau keberatan, kita bisa naik taksi."

Lea menatap sepeda motor dengan campuran kekhawatiran dan ketertarikan. Terakhir kali ia naik sepeda motor adalah saat berusia sembilan tahun, dibonceng sepupunya di Medan.

"Aman?" tanyanya, merasa bodoh setelah kata itu meluncur dari mulutnya.

Rahmat tertawa kecil. "Aku sudah mengendarai motor sejak usia empat belas tahun, dan belum pernah kecelakaan. Tapi jika kau tidak nyaman—"

"Tidak," potong Lea, merasakan dorongan untuk melangkah keluar dari zona nyamannya. "Aku ikut naik motor."

Rahmat tersenyum, menyerahkan helm padanya. "Kalau begitu, pegang erat-erat."

Lima menit kemudian, Lea menemukan dirinya melesat di antara celah-celah kendaraan, tangannya mencengkeram pinggang Rahmat sementara kota mengalir di sekitar mereka seperti sungai berwarna-warni. Sepeda motor menerobos kemacetan dengan mudah, berbelok dan menyelip di antara mobil dan bus yang bergerak lambat. Ada jenis kebebasan di sini—sesuatu yang jarang ia rasakan di Tokyo yang teratur dan dapat diprediksi.

Angin meniup rambutnya yang tidak tertutup helm, membawa aroma khas Jakarta—campuran asap knalpot, makanan yang digoreng, sampah yang membusuk, dan bunga-bunga tropis. Kontradiksi yang menyerang indra, tapi anehnya menyenangkan.

"Kau baik-baik saja?" teriak Rahmat, suaranya hampir tenggelam oleh deru angin dan lalu lintas.

"Ya!" Lea menemukan dirinya tersenyum, sesuatu yang jarang ia lakukan di luar konteks prestasi akademis. Ada sesuatu yang membebaskan dalam kekacauan ini.

Sepeda motor berbelok, meninggalkan jalan utama dan memasuki kawasan yang lebih sempit. Rahmat memperlambat laju, memungkinkan Lea untuk mengamati lingkungan sekitar. Mereka telah memasuki daerah yang lebih tua di kota ini—bangunan-bangunan kolonial berdiri berdampingan dengan toko-toko modern. Manusia bergerak dalam aliran konstan, seperti molekul-molekul dalam senyawa kompleks.

Lihat selengkapnya