Mereka menghabiskan jam berikutnya menjelajahi sudut-sudut Jakarta yang jarang terlihat pengunjung—pasar tradisional di mana pedagang berteriak menawarkan dagangan, gang-gang sempit dengan grafiti berwarna-warni yang menceritakan kisah politik dan sosial, dan kampung tua di mana rumah-rumah berdempetan dengan jendela yang terbuka lebar, mengungkapkan kehidupan yang berlangsung di dalamnya tanpa privasi yang obsesif.
Rahmat memotret sepanjang jalan, kadang berhenti tiba-tiba untuk menangkap momen yang hanya bisa ia rasakan—seorang nenek tersenyum pada cucunya, sepasang kupu-kupu yang hinggap di genangan air, dan bayangan yang membentuk pola menarik di dinding yang mengelupas.
Lea menemukan dirinya terpesona, bukan hanya oleh kota, tapi oleh cara Rahmat melihat. Ia terbiasa menganalisis dunia melalui angka dan pola, mencari rumus dan korelasi. Namun, Rahmat melihat cerita dan emosi, koneksi manusia dan momen-momen keindahan di tengah kekacauan.
"Lihat itu," tunjuk Rahmat ke arah sekumpulan anak bermain di aliran air kecil yang kotor. Mereka tertawa, membuat perahu kertas dari halaman majalah bekas. "Kita mungkin melihat polusi dan kemiskinan. Mereka melihat kesempatan untuk bermain dan kegembiraan sederhana."
Rahmat mengangkat kameranya, mengambil beberapa foto dengan cepat.
"Ini yang sering kita lewatkan dalam penelitian dan data," lanjutnya. "Bagaimana orang biasa beradaptasi dan menemukan kebahagiaan meski lingkungan berubah. Ketahanan manusia tidak bisa diukur dengan grafik, kan?"
Lea menatap anak-anak itu, kemudian pada layar kamera digital Rahmat yang menampilkan foto yang baru diambil. Dalam gambar itu, ia bisa melihat apa yang Rahmat maksud—kontras antara air kotor dan wajah-wajah berseri, antara kemiskinan material dan kekayaan pengalaman.
"Penelitianku," kata Lea perlahan. "Terfokus pada data karena data tidak berbohong. Data memberikan kita kebenaran objektif yang tak terbantahkan."
"Tapi apakah data memberikan kita gambaran lengkap?" tanya Rahmat, tatapannya intens namun tidak menghakimi. "Ketika kau menulis tentang hilangnya salju di Tokyo, kau mencatat suhu, presipitasi, dan pola arus laut. Tapi apakah kau mencatat bagaimana hal itu mengubah kehidupan orang Tokyo? Bagaimana anak-anak yang tidak pernah melihat salju merasakan kehilangan yang tak mereka pahami?"
Lea terdiam. Ia tidak pernah benar-benar mempertimbangkan dimensi manusiawi itu. Baginya, anomali iklim adalah masalah yang harus dipecahkan, bukan narasi yang harus diceritakan.
"Aku bukan ahli dalam hal itu," jawabnya.
"Tidak ada yang minta kau menjadi ahli," ujar Rahmat tersenyum lembut. "Hanya untuk mengakui bahwa ada aspek lain yang sama pentingnya."
Mereka melanjutkan perjalanan, kini memasuki area dekat pelabuhan. Aroma laut bercampur dengan bau ikan dan diesel kapal. Rahmat memperlambat langkahnya, mengecek jam.