Mereka tiba di kawasan pesisir Jakarta, di mana gedung-gedung pencakar langit berdiri di kejauhan, menghadap teluk yang dipenuhi perahu nelayan kecil dan kapal-kapal besar. Kontras antara modernitas dan tradisi begitu mencolok di sini—kota megalopolitan yang masih mempertahankan cara-cara lama mencari penghidupan.
"Kampung Laut," jelas Rahmat, menunjuk ke arah perkampungan di atas air—rumah-rumah panggung sederhana yang dibangun di atas tiang-tiang kayu. "Komunitas nelayan yang telah ada selama beberapa generasi. Tapi sekarang mereka menghadapi ancaman ganda—reklamasi teluk untuk pengembangan properti mewah dan kenaikan permukaan laut akibat perubahan iklim."
Ia mengangkat kameranya, mengambil beberapa foto perkampungan dengan latar belakang gedung-gedung tinggi.
"Juxtaposition sempurna—masa lalu dan masa depan Jakarta, berhadapan langsung dan saling mengancam."
Lea mengamati perkampungan itu dengan mata peneliti, melihat bagaimana rumah-rumah panggung dibangun dengan mempertimbangkan pasang surut air laut, bagaimana kanal-kanal kecil berfungsi sebagai jalan.
"Adaptasi," gumamnya. "Mereka telah beradaptasi dengan lingkungan pesisir selama berabad-abad."
"Tepat," jawab Rahmat mengangguk bersemangat. "Tapi ada batas seberapa jauh adaptasi tradisional bisa bertahan menghadapi perubahan yang begitu cepat. Itulah mengapa penelitianmu begitu penting—untuk memahami seberapa cepat perubahan itu terjadi, agar kita bisa membantu komunitas ini mempersiapkan diri."
Mereka berjalan di sepanjang dermaga kayu, Rahmat berhenti sesekali untuk berbicara dengan nelayan dalam bahasa Indonesia. Ia tampak sangat natural di sini—berinteraksi dengan penduduk lokal, tertawa bersama mereka, dan mendengarkan cerita mereka dengan penuh perhatian.
Lea menemukan dirinya terpesona oleh kemampuan Rahmat untuk menjalin koneksi dengan orang-orang yang baru ditemuinya. Ia sendiri selalu merasa canggung dalam situasi sosial, lebih nyaman dengan data dan teori daripada percakapan santai.
"Pak Hasan ini," ujar Rahmat kembali padanya, menunjuk ke seorang nelayan tua dengan kulit gelap dan keriput. "Sudah menjadi nelayan selama lima puluh tahun. Dia bilang dalam tiga puluh tahun terakhir, ia harus berlayar dua kali lebih jauh untuk mendapatkan tangkapan yang sama."
Lea mengangguk pada pria tua itu, yang tersenyum ramah padanya.
"Tanya dia," kata Lea pada Rahmat. "Apakah ia juga merasakan perubahan pada arus laut dan suhu air?"
Rahmat menerjemahkan pertanyaan itu. Pak Hasan mengangguk penuh semangat, lalu menjawab panjang lebar dalam bahasa Indonesia.
"Dia bilang arus menjadi tidak terprediksi," terjemah Rahmat. "Dulu mereka bisa mengandalkan arus musiman untuk menentukan kapan dan di mana menangkap ikan tertentu. Sekarang polanya berubah-ubah. Dan air terasa lebih hangat—ikan-ikan tertentu yang dulu melimpah sekarang sulit ditemukan di perairan dekat, mereka harus berlayar ke perairan yang lebih dingin jauh di selatan."
Lea merasakan gairah penelitian bangkit dalam dirinya. Ini adalah konfirmasi anekdotal yang mendukung hipotesisnya tentang perubahan arus laut.
"Bisakah kau tanyakan sejak kapan tepatnya ia mulai merasakan perubahan signifikan ini?"