Tidak Ada Salju Di Sini

Aryasuta
Chapter #13

Pesisir - Potongan 4

Malam terakhir konferensi diadakan di sebuah rooftop restoran dengan pemandangan lanskap kota Jakarta yang berkilauan dalam gelapnya malam. Lea duduk di meja dekat tepi, menatap lautan cahaya yang membentang hingga ke cakrawala—kota yang tak pernah tidur, terus berdetak dalam ritme kekacauannya yang teratur.

Tiga hari telah berlalu sejak tur Jakarta bersama Rahmat. Tiga hari yang diisi dengan sesi-sesi konferensi, diskusi panel, dan networking profesional. Ia telah berbicara dengan banyak peneliti, membuat kontak untuk kolaborasi potensial, dan mengumpulkan data baru untuk penelitiannya.

Namun, pikiran Lea terus kembali ke siang itu—ke pesisir Jakarta, ke rumah Pak Hasan, lalu ke cara Rahmat berinteraksi dengan dunia di sekitarnya.

"Mind if I join you?"

Suara familier itu membuyarkan lamunannya. Rahmat berdiri di sana, memegang segelas minuman dan tersenyum dengan cara yang kini mulai ia kenali—hangat, sedikit menggoda, tapi selalu tulus.

"Please," jawab Lea mengangguk ke arah kursi kosong di hadapannya.

Rahmat duduk, meletakkan kameranya di atas meja dengan hati-hati. "Konferensi yang produktif," katanya. "Kau mendapatkan apa yang kau harapkan?"

"Ya," jawab Lea mengangguk. "Beberapa kontak baru, data yang menarik. Kau sendiri?"

"Beberapa komisioning baru untuk proyek dokumentasi. Dan..." Ia tersenyum, "sebuah kolaborasi potensial dengan peneliti iklim brilian dari Tokyo."

Lea tidak bisa menahan senyumnya. "Jadi kau masih tertarik dengan ide itu?"

"Tentu saja. Lebih dari sebelumnya, sebenarnya." Rahmat menatapnya intens. "Bagaimana denganmu?"

Lea memainkan gelas anggurnya, menatap cairan merah yang berputar di dalamnya. "Ya," jawabnya. "Aku pikir akan sangat bermanfaat untuk memberikan dimensi manusiawi pada penelitianku."

"Hanya manfaat profesional?" Rahmat menantang dengan lembut.

Lea mengangkat wajahnya, bertemu dengan tatapan Rahmat yang penuh pertanyaan. Ia tahu apa yang ditanyakan—apakah ada sesuatu yang lebih dari sekadar kepentingan profesional dalam ketertarikannya pada kolaborasi ini.

"Rahmat." Ia memulai dengan hati-hati, "aku bukan tipe orang yang mudah menjalin hubungan. Aku... sistematis. Metodis. Selalu berpikir sepuluh langkah ke depan, menganalisis segala kemungkinan."

"Dan apa hasil analisamu tentang... situasi kita?" Rahmat bertanya, nada suaranya ringan namun matanya serius.

Lea menghela napas panjang. "Kompleks. Banyak variabel yang harus dipertimbangkan." Ia berhenti sejenak. "Kita berasal dari latar belakang yang sangat berbeda. Kau Muslim, aku—well, secara teknis Kristen. Kau fotografer yang bergerak berdasarkan intuisi dan emosi, aku ilmuwan yang berpikir dalam data dan fakta."

"Perbedaan-perbedaan itu bisa menjadi kekuatan, bukan hambatan," jawab Rahmat. "Seperti dalam ekosistem—diversitas menciptakan ketahanan."

"Tapi juga potensi konflik," tambah Lea. "Aku melihat bagaimana mamaku berjuang dengan perbedaan budaya dan agama dalam pernikahannya. Dan bagaimana keluargamu merespons pilihan karirmu—aku bisa bayangkan reaksi mereka jika kau..."

Lihat selengkapnya