Bandung diselimuti hujan tipis sore itu, seolah langit tidak yakin apakah ingin menangis sepenuhnya atau hanya menitikkan air mata. Rahmat duduk di teras rumah keluarganya, mengamati tetesan air yang jatuh dari atap seperti metronom alam yang mengukur waktu dengan cara yang kacau.
Kameranya tergeletak di meja, aman dalam tas, meski sesekali ia meraba permukaannya untuk mencari pegangan. Di sampingnya, Bunga duduk dengan laptop terbuka, mengedit foto-foto mereka dari sesi pemotretan di kebun teh pagi tadi.
"Yang ini bagus," kata Bunga, menunjukkan gambar seorang pemetik teh tua yang menatap ke arah langit dengan ekspresi yang menantang hujan. "Kau selalu bisa menangkap ekspresi yang tak terucapkan, Mat."
Rahmat tersenyum tipis, tapi matanya menerawang melampaui halaman rumah, melampaui pagar, menuju jalan yang menghilang di tikungan—jalan yang bisa membawanya jauh dari sini, mungkin ke bandara, mungkin ke Tokyo, ke seorang peneliti dengan mata yang tajam dan pikiran yang lebih tajam lagi.
"Kau melamun lagi," tegur Bunga lembut. "Memikirkan proyek Tokyo?"
Tokyo. Nama itu berdering dalam benaknya seperti lonceng—bukan hanya sebagai tujuan geografis, tapi sebagai kemungkinan, pelarian, atau mungkin tempat di mana ia bisa menjadi seseorang tanpa beban nama keluarga dan tradisi.
"Ya," jawabnya, setengah jujur. "Diana ingin seri fotoku selesai sebelum akhir bulan."
"Hmm." Bunga tidak mengalihkan pandangan dari laptop, tapi nadanya berubah. "Kau tidak hanya memikirkan proyek, kan?"
Rahmat menoleh, menatap profil wajah teman masa kecilnya itu—perempuan yang oleh keluarganya, dan mungkin juga keluarga Bunga, telah diharapkan akan menjadi pasangan suami istri suatu hari nanti. Harapan yang tidak pernah ia konfirmasi maupun bantah, membiarkannya menggantung seperti tetesan air yang tertahan di ujung daun sebelum gravitasi menariknya jatuh.
"Apa maksudmu?" tanyanya, meski ia tahu persis.
Bunga menghela napas, akhirnya mengalihkan pandangan dari laptop untuk menatapnya langsung. "Peneliti dari Tokyo itu. Lea. Aku melihat bagaimana kau menatapnya selama konferensi. Bagaimana kau berbicara tentangnya sejak pulang."
"Dia kolega profesional, Bunga. Kami merencanakan kolaborasi."
"Tentu saja."
Ada keheningan yang mengambang di antara mereka, hanya diisi oleh suara tetesan air hujan dan sesekali deru motor yang lewat di jalan depan. Keheningan yang terasa seperti ruang di mana kata-kata yang tak terucapkan berkumpul, menunggu untuk dilepaskan.
"Ayahmu mencari tadi," kata Bunga akhirnya, mengubah topik. "Beliau tampak tidak sehat."
Rahmat merasa sebuah sentakan muncul dari kepalnya. Ayahnya, Abi Sina, dengan jantung yang semakin lemah dan harapan yang tidak pernah pudar—harapan bahwa suatu hari putranya akan kembali ke jalan yang telah digariskan baginya, menjadi penerus pesantren keluarga.
"Aku akan menemuinya setelah Ashar," jawab Rahmat, melirik jam tangannya. Waktu—entah mengapa selalu tentang waktu. Waktu shalat, waktu tugas, waktu harapan, dan waktu kekecewaan.
"Dia menerima telepon dari dokter tadi. Aku tidak sengaja mendengar." Bunga menutup laptopnya. "Sepertinya hasil tes jantung tidak bagus."
Rahmat merasakan kecemasan merayap di dada. Ayahnya mungkin keras kepala dan konservatif, mungkin tidak pernah memahami jalan yang ia pilih, tapi ia tetap ayahnya—pria yang pernah mengajarkannya membaca, yang menyisihkan permen di sakunya sepulang mengajar, dan yang pernah memiliki mata berbinar saat putra kecilnya berhasil menghafal surat-surat pendek Al-Quran.
"Aku akan bicara dengannya," gumam Rahmat, bangkit dari kursi.
Saat ia memasuki rumah, Rahmat merasakan beban yang selalu muncul setiap kali ia melangkah ke bawah atap rumah keluarganya—beban ekspektasi, sejarah, dan identitas yang kadang terasa terlalu berat untuk dipikul sendiri.
Di ruang tengah, ibunya sedang melipat cucian dengan gerakan-gerakan efisien yang telah dilakukannya selama bertahun-tahun—gerakan yang menjadi begitu otomatis hingga hampir menyerupai meditasi.
"Rahmat," panggil ibunya. "Barusan Ayahmu menanyakanmu."