Masjid Al-Hidayah di pinggiran Bandung adalah bangunan sederhana dengan kubah hijau yang tidak terlalu mencolok. Di halaman belakangnya, di bawah pohon mangga tua, Rahmat duduk berhadapan dengan Paman Ridwan—penghulu terkemuka yang terkenal dengan pandangannya yang moderat dan kebijaksanaannya yang dalam.
"Jadi," kata Paman Ridwan, menuangkan teh ke cangkir keramik sederhana. "Kau datang untuk menanyakan tentang pernikahan beda agama."
Itu bukan pertanyaan, melainkan pernyataan. Rahmat tidak terkejut—Paman Ridwan selalu memiliki cara untuk membaca pikiran orang lain, untuk melihat apa yang tersembunyi di balik pertanyaan-pertanyaan dangkal.
"Saya hanya bertanya secara umum, Paman," jawab Rahmat, mencoba terdengar kasual. "Untuk proyek dokumentasi saya. Tentang pasangan-pasangan dengan latar belakang berbeda di era globalisasi."
Paman Ridwan tersenyum tipis, jenggot putihnya bergerak sedikit. "Tentu saja. Untuk proyek."
Rahmat menyerah, tahu bahwa berpura-pura di hadapan Paman Ridwan tidak ada gunanya. "Baiklah. Saya memang... bertemu seseorang. Di Jakarta, saat konferensi."
"Dan dia bukan Muslim," lanjut Paman, mengangguk seolah ini adalah kelanjutan yang sudah ia duga.
"Dia peneliti dari Jepang. Putri ilmuwan Jepang dan ibu Indonesia. Dibesarkan sebagai Kristen, meski sepertinya tidak terlalu taat."
"Hmm." Paman Ridwan menyesap tehnya perlahan. "Dan kau ingin tahu apakah Islam memperbolehkan pernikahan seperti itu."
"Ya. Maksud saya—" Rahmat berhenti, menyadari bahwa ia melompat terlalu jauh ke depan. "Saya hanya ingin tahu pandangan agama tentang hal ini. Secara teoritis."
"Secara teoritis," ulang Paman dengan senyum yang mengatakan bahwa ia tidak percaya ini hanya pertanyaan akademis. "Baiklah. Kau tahu bahwa dalam pandangan mainstream, pria Muslim diperbolehkan menikahi perempuan Ahli Kitab—Yahudi atau Kristen. Sementara perempuan Muslim tidak diizinkan menikah dengan pria non Muslim."
Rahmat mengangguk. Ini adalah pemahaman dasar yang sudah ia ketahui.
"Namun," lanjut Paman. "Ada kompleksitas dibalik aturan itu. Beberapa ulama berpendapat bahwa izin tersebut diberikan dalam konteks historis tertentu, di mana struktur keluarga sangat patriarkal dan agama ayah otomatis menjadi agama anak. Dalam konteks modern, di mana peran gender lebih setara dan anak-anak terpapar berbagai pengaruh, beberapa ulama berpendapat bahwa pertimbangan utama seharusnya adalah kemampuan untuk mempertahankan dan menumbuhkan keimanan dalam keluarga."
"Maksud Paman?"
"Bahwa esensinya bukanlah pada label agama pasangan, tapi pada kesepakatan untuk menghormati dan melindungi keimanan masing-masing, terutama dalam pengasuhan anak."
Rahmat mengangguk perlahan, mencerna pemikiran ini. "Tapi bukankah tetap ada kekhawatiran tentang akidah? Tentang anak-anak yang mungkin bingung dengan dua keyakinan berbeda?"