Tokyo diselimuti gerimis tipis saat Lea berjalan pulang dari stasiun kereta. Gerimis yang bukan salju—yang tidak akan pernah menjadi salju lagi, mungkin—satu lagi pengingat tentang dunia yang berubah terlalu cepat.
Di apartemennya yang sunyi, ia memeriksa email—sebuah kebiasaan yang telah menjadi ritual malam, seperti doa bagi mereka yang masih percaya. Ada pesan dari ibunya tentang pertemuan gereja akhir pekan, dari kolega di Australia tentang dataset baru, dan dari editor jurnal tentang revisi yang ditunda.
Dan di antara semuanya, sebuah email dari Rahmat Rushd.
Dear Lea,
Aku sudah memesan tiket ke Tokyo. Tiba tanggal 10 November, kembali tanggal 25. Diana sangat antusias dengan proyek kolaborasi kita, dan National Geographic telah menyetujui anggaran untuk dokumentasi komprehensif tentang Kota Tanpa Salju (judul sementara).
Aku ingin mendokumentasikan bagaimana perubahan iklim telah mengubah ritme kehidupan Tokyo dan penduduknya—musim yang berubah, tradisi yang harus disesuaikan, dan tentu saja, fenomena hilangnya salju yang menjadi fokus penelitianmu.
Jika kau tidak keberatan, aku akan membutuhkan bantuanmu untuk mengidentifikasi lokasi-lokasi kunci dan narasumber potensial. Mungkin kita juga bisa mengunjungi Universitas Tokyo dan laboratoriummu, untuk memberikan konteks ilmiah pada narasi visual.
Aku sangat menantikan kesempatan untuk melihat Tokyo melalui matamu.
Salam hangat dari Bandung yang selalu hujan,
Rahmat