Salju seharusnya turun hari ini. Begitulah pikir Lea saat berdiri di bawah pohon sakura yang telanjang di Taman Ueno, daun-daunnya telah lama gugur, cabang-cabangnya mengeras menantang musim dingin yang tak kunjung tiba sepenuhnya. Menurut catatan historis yang telah ia kaji selama bertahun-tahun, pada tanggal seperti ini—10 November—kristal-kristal es halus pernah turun, perlahan dan ragu pada awalnya, sebelum menebal dan menutupi Tokyo dalam selimut putih yang meredam suara.
Namun, udara hari ini, meskipun dingin, terlalu kering untuk salju. Terlalu hangat. Terlalu tak wajar.
"Tanaka-san?"
Lea berbalik, menemukan keanehan ganda melalui suara yang tak seharusnya ada di Tokyo: suara Rahmat Rushd yang hadir di tengah detak kehidupan kota yang seharusnya hanya berisi jejak-jejak familier. Di sana ia berdiri, sedikit lebih kurus dari yang Lea ingat, dengan kamera yang tak pernah lepas dari lehernya—seperti kalung pemberat yang menjaga agar ia tetap terhubung dengan bumi.
"Rahmat," jawabnya, dan nama itu terasa aneh di lidahnya.
Mereka berdiri dengan jarak yang dihitung dalam sentimeter, dalam hembusan napas, dalam detak jantung yang terlalu cepat—jarak yang terlalu dekat untuk orang asing, terlalu jauh untuk mereka yang telah berbagi pikiran selama berbulan-bulan melalui email dan panggilan video.
"Ini Tokyo yang kau janjikan," kata Rahmat, matanya berkeliling, menyapu pemandangan taman dan gedung-gedung yang mengelilinginya. "Lebih dingin dari yang kubayangkan."
"Tapi masih terlalu hangat untuk bulan November," jawab Lea, kembali pada data yang ia hapal di luar kepala. "Seharusnya tiga derajat lebih dingin berdasarkan rata-rata historis."
Rahmat tertawa—suara yang terlalu hidup untuk taman dengan pohon-pohon yang seperti kerangka. "Bahkan dalam pertemuan pertama setelah berbulan-bulan, kau masih memikirkan data. Kau tak berubah, Lea."
Namun, ia telah berubah, bukan? Lea merasakannya dalam dirinya sendiri—perubahan halus, seperti pergeseran arus laut yang tak terlihat, tapi mengubah pola cuaca seluruh benua. Perubahan yang membuatnya berdiri di sini, di bawah pohon sakura tak berdaun, menunggu fotografer Indonesia dengan hati berdebar seperti gadis remaja, bukan ilmuwan dengan dua gelar doktor yang biasanya hanya tertarik pada angka-angka.
"Ayo," kata Lea, menolak untuk mengakui baik perubahan maupun stagnasi. "Aku akan menunjukkan tempat-tempat yang dulu selalu tertutupi salju."