Senja telah menyelimuti Tokyo saat mereka tiba di sebuah kafe kecil di Kichijoji, dengan jendela besar yang menghadap ke taman. Interior kayu yang hangat dan lampu kekuningan menciptakan perlindungan nyaman dari udara musim dingin yang semakin menggigit di luar.
"Jadi," kata Rahmat setelah mereka duduk dan memesan minuman hangat. "Seperti apa rasanya tumbuh di antara dua budaya? Jepang dan Indonesia?"
Lea mengaduk teh hijaunya perlahan, mencari jawaban yang tidak terlalu mengungkapkan atau terlalu menutupi.
"Seperti tidak sepenuhnya berada di mana pun," jawabnya. "Di Jepang, aku selalu anak dari perempuan Indonesia itu. Di Indonesia, saat berkunjung, aku selalu anak Jepang atau orang asing. Berada di margin, tidak sepenuhnya milik satu tempat atau tempat lainnya."
"Tapi bukankah margin juga tempat yang menarik?" tanya Rahmat. "Tempat di mana hal-hal bertemu dan bercampur, menciptakan sesuatu yang baru?"
"Atau tempat di mana hal-hal jatuh melalui celah," balas Lea. "Tidak sepenuhnya diakui oleh salah satu sisi."
Rahmat mengangguk, memahami. "Aku juga sering merasa begitu. Tidak cukup religius untuk keluargaku yang konservatif, tidak cukup sekular untuk dunia fotografi modern. Terjebak di antara."
"Betulkah? Kau tampak sangat nyaman dengan identitasmu."
"Aku belajar beradaptasi," sambung Rahmat tersenyum. "Seperti spesies yang kau teliti di tengah perubahan iklim. Fleksibilitas adalah kunci kelangsungan hidup."
Fleksibilitas. Kata itu mengiang di pikiran Lea. Bukankah itu yang selalu ia hindari? Preferensinya selalu pada kepastian, data yang solid, dan pola yang dapat diprediksi. Fleksibilitas berarti perubahan, dan perubahan berarti ketidakpastian.
"Bagaimana Tokyo menurutmu?" tanya Lea, mengalihkan pembicaraan.
"Seperti yang kubayangkan, tapi juga tidak." Rahmat menyesap kopinya. "Lebih teratur, lebih terkendali daripada Jakarta. Tapi juga lebih... sepi? Aku belum melihat orang-orang tertawa keras di jalan atau berbincang dengan tetangga mereka seperti di Indonesia."
"Kami menghargai privasi dan ketenangan," kata Lea defensif.
"Atau mungkin takut pada koneksi yang terlalu intim?" tantang Rahmat lembut.
Lea menatapnya, terkejut oleh observasi yang terlalu tepat. "Kau selalu seperti ini? Menganalisis orang seperti subjek foto?"
"Fotografi yang baik memerlukan pemahaman tentang subjek," jawab Rahmat tidak meminta maaf. "Untuk menangkap esensi, kau harus melihat melampaui permukaan."
"Dan apa yang kau lihat di balik permukaanku?" tanya Lea, kata-kata meluncur keluar sebelum ia dapat mencegahnya.
Rahmat meletakkan cangkirnya, menatap Lea dengan intensitas yang membuat jantungnya berdetak lebih cepat.
"Aku melihat seseorang yang mencintai keteraturan, tapi merindukan kekacauan. Yang bersembunyi di balik data, tapi lapar akan pengalaman. Yang takut pada ketidakpastian tapi juga menarik diri dari kepastian yang membosankan." Ia berhenti sejenak. "Aku melihat anomali."
Kata itu—sebuah istilah ilmiah yang sering Lea gunakan dalam penelitiannya—terasa berbeda saat diucapkan Rahmat. Bukan sebagai penyimpangan yang harus dikoreksi, tapi sebagai keunikan yang harus dihargai.
"Tanaka-san?"
Suara itu datang dari belakang Lea, memecah momen intim yang terbangun di antara mereka. Lea berbalik dan menemukan Daniel Hartono berdiri di sana, dengan setelan rapi dan senyum sempurnanya yang familier.
"Daniel," kata Lea, terkejut. "Apa yang kau lakukan di sini?"
"Meeting dengan JAXA tentang satelit pemantauan iklim," jawabnya, lalu mengalihkan pandangan ke Rahmat. "Oh, Rahmat? Aku tidak tahu kau ada di Tokyo."
"Baru tiba hari ini," jawab Rahmat, bangkit untuk menjabat tangan Daniel. "Proyek dokumentasi dengan National Geographic."