"Jadi, ini tempat kerjamu," kata Rahmat, matanya menyapu laboratorium Lea di Universitas Tokyo. Ruangan itu penuh dengan peralatan canggih, layar-layar komputer menampilkan grafik dan data, dan buku-buku serta jurnal yang tertata rapi di rak-rak.
Tiga hari telah berlalu sejak kedatangan Rahmat, tiga hari yang diisi dengan eksplorasi Tokyo dan diskusi panjang tentang proyek mereka. Tiga hari yang mengubah sesuatu di antara mereka—dari kolega profesional menjadi sesuatu yang belum mereka definisikan, tapi mereka akui keberadaannya.
"Ya," jawab Lea, merasa aneh membawa Rahmat ke tempat yang selama ini menjadi tempat sucinya. Seperti membuka bagian paling pribadi dari dirinya.
"Ini yang kau lihat setiap hari," gumam Rahmat berjalan perlahan, mengambil beberapa foto. "Angka-angka, grafik, model komputer..."
"Ya, tapi juga lebih dari itu," kata Lea. "Aku melihat pola, aliran, dan koneksi. Bagaimana satu variabel berubah dan mempengaruhi yang lain, bagaimana sistem kompleks berperilaku mengikuti aturan tertentu, tapi juga dengan elemen kejutan."
"Seperti kehidupan," ujar Rahmat. "Atau seperti cinta."
Kata terakhir itu menggantung di udara seperti partikel bermuatan berat, menciptakan medan magnetik di sekitar mereka.
"Kenapa fotografer sepertimu tertarik pada ilmu seperti ini?" tanya Lea, mengalihkan topik ke wilayah yang lebih aman. "Kita bekerja dalam medium yang sangat berbeda."
"Tidak sejelas itu," jawab Rahmat mengarahkan kameranya ke wajah Lea, mengambil foto diam-diam. "Kita berdua mencari kebenaran. Kau melalui angka, aku melalui gambar. Tapi pada akhirnya, kita sama-sama mencoba memahami dunia, mencoba membuat orang lain melihat apa yang kita lihat."
Ia menurunkan kameranya, menunjukkan foto yang baru diambil—Lea dengan latar belakang data di layar komputer. "Lihat, bahkan dalam foto pun, kau dikelilingi angka. Mereka seperti bagian dari DNAmu."
Lea melihat foto itu, terkejut oleh keakuratan komposisinya—bagaimana Rahmat menangkap momen ketika ia tidak sadar sedang diamati, menciptakan portret yang terasa lebih jujur dari pose yang biasa dibuat orang saat berfoto.
"Kau sangat berbakat," katanya tulus.
"Begitu juga kau," balas Rahmat. "Kita hanya berbakat dalam hal yang berbeda. Dan itulah yang membuatnya menarik."
Mereka melanjutkan tur laboratorium, dengan Lea menjelaskan peralatan dan metodologi penelitiannya, dan Rahmat sesekali mengambil foto untuk dokumentasi proyek mereka. Saat hari beranjak sore, Profesor Watanabe muncul di pintu lab.
"Ah, Tanaka-san, ini pasti tamu dari Indonesia yang kau ceritakan," katanya dengan bahasa Inggris yang terdengar kaku namun jelas.
"Ya, Profesor. Ini Rahmat Rushd dari National Geographic."